Sabtu, 30 April 2011

PATOLOGI RONGGA MULUT

KELAINAN PADA MUKOSA MULUT

Pendahuluan

Lesi pra-ganas adalah kondisi penyakit yang secara klinis belum menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada lesi ganas, namun di dalamnya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis yang merupakan pertanda akan terjadinya keganasan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat pada umumnya kelainan yang terjadi di dalam rongga mulut, terutama pada mukosa rongga mulut, kurang mendapat perhatian karena lesi tersebut sama sekali tidak memberikan keluhan.
Di Asia Tenggara, frekuensi tumor ganas rongga mulut lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lainnya di seluruh dunia. Keadaan yang demikian diduga ada hubungannya dengan kebiasaan mengunyah tembakau yang dilakukan sebagian masyarakat di kawasan Asia.
Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan, sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik. Perlu diingat bahwa kelainan yang terjadi pada umumnya memberikan gambaran yang mirip antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesukaran dalam menentukan diagnosis yang tepat. Untuk itu, diperlukan diagnosis banding, karena di antara kelainan yang terjadi ada yang berpotensial menjadi maligna (keganasan). Pemahaman mengenai pentingnya pendekatan patologik akan meningkatkan kemampuan para dokter gigi pada era globalisasi. Ada beberapa macam lesi pra-ganas rongga mulut, antara lain erithroplakia, carsinoma in situ, dan lai-lain. Tetapi, lesi yang paling sering ditemukan pada rongga mulut adalah leukoplakia.

Leukoplakia

Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga mulut. Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering meluas sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer. Leukoplakia merupakan suatu istilah lama yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bercak putih atau plak yang tidak normal yang terdapat pada membran mukosa. Pendapat lain mengatakan bahwa leukoplakia hanya merupakan suatu bercak putih yang terdapat pada membran mukosa dan sukar untuk dihilangkan atau terkelupas.
Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan "lichen plannus" dan "white sponge naevus".

Etiologi

Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi predisposisi menurut beberapa ahli klinikus terdiri dari faktor yang multiple,, yaitu faktor lokal faktor sistemik dan malnutrisi vitamin.
Faktor lokal
Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:
Trauma
• Trauma dapat berupa gigitan tepi atau akar gigi yang tajam
• Iritasi dari gigi yang malposisi
• Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan iritasi
• Adanya kebiasaan jelek, antara lain kebiasaan jelek menggigit-gigit jaringan mulut, pipi, maupun lidah.
Kemikal atau termal
Pada penggunaan bahan-bahan yang kaustik mungkin diikuti oleh terjadinya leukoplakia dan perubahan keganasan.
Faktor-faktor kaustik tersebut antara lain:
• Tembakau
Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya disebabkan oleh asap rokok dan panas yang terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat-zat yang terdapat di dalam tembakau yang ikut terkunyah. Banyak peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga merupakan benda yang berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang spesifik pada palatum yang disebut "stomatitis Nicotine". Pada lesi ini, dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul pembengkakan pada palatum. Selanjutnya, palatum akan berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan yang sifatnya merata. Ditemukan pula adanya "multinodulair" dengan bintik-bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar ludah akan membengkak dan terjadi perubahan di daerah sekitarnya. Banyak peneliti yang kemudian berpendapat bahwa lesi ini merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.

• Alkohol
Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor yang memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa.
• Bakterial
Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri, penyakit periodontal yang disertai higiene mulut yang jelek.
Faktor sistemik
Adanya kemungkinan konstitutional karakteristik, karena ada yang berpendapat bahwa penyakit ini lebih mudah berkembang pada individu yang berkulit putih dan bermata biru. Pendapat ini dikemukakan oleh Shaffer dan Burket. Kemungkinan lain adalah adanya penyakit sistemik, misalnya sipilis. Pada penderita dengan penyakit sipilis pada umumnya ditemukan adanya "syphilis glositis". Candidiasis yang kronik dapat menyebabkan terjadinya leukoplakia. Hal ini telah dibuktikan oleh peneliti yang melakukan biopsi di klinik. Ternyata, dari 171 penderita candidiasis kronik, 50 di antaranya ditemukan gambaran yang menyerupai leukoplakia.
Untuk mengetahui diagnosis yang pasti dari leukokplakia, sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinik, histopatologi, serta latar belakang etiologi terjadinya lesi ini.
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di uvula merupakan manifestasi dari intake vitamin A yang tidak cukup. Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan leukoplakia. Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan menimbulkan perubahan hiperkeratotik.

Gambaran Klinik

Dari pemeriksaan klinik, ternyata oral leukoplakia mempunyai bermacam-macam bentuk. Secara klinis lesi ini sukar dibedakan dan dikenal pasti karena banyak lesi lain yang memberikan gambaran yang serupa serta tanda-tanda yang hampir sama. Pada umumnya, lesi ini lebih banyak ditemukan pada penderita dengan usia di atas 40 tahun dan lebih banyak pria daripada wanita. Hal ini terjadi karena sebagian besar pria merupakan perokok berat. Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda.
Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir, barbatas jelas, dan permukaannya tampak melipat. Bila dilakukan palpasi akan terasa keras, tebal, berfisure, halus, datar atau agak menonjol. Kadang-kadang lesi ini dapat berwarna seperti mutiara putih atau kekuningan. Pada perokok berat, warna jaringan yang terkena berwarna putih kecoklatan. Ketiga gambaran tersebut di atas lebih dikenal dengan esbutan "speckled leukoplakia".

Stadium Leukoplakia

Leukoplakia dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:
1. Homogenous leukoplakia
Merupakan bercak putih yang kadang-kadang berwarna kebiruan, permukaannya licin, rata, dan berbatas jelas. Pada tahap ini, tidak dijumpai adanya indurasi.

2. Erosif leukoplakia
Erosif leukoplakia berwarna putih dan mengkilat seperti perak dan pada umumnya sudah disertai dengan indurasi. Pada palpasi, permukaan lesi mulai terasa kasar dan dijumpai juga permukaan lesi yang erosive.

3. Speckled atau Verucuos leukoplakia
Permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak mengkilat. Timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan berlekuk-lekuk. Saat ini, lesi telah dianggap berubah menjadi ganas. Karena biasanya dalam waktu yang relatif singkat akan berubah menjadi tumor ganas seperti squamus sel karsinoma, terutama bila lesi ini terdapat di lidah dan dasar mulut.

Gambaran Histopatologik

Pemeriksaan mikroskopis akan membantu menentukan penegakan diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama pada bagian superfisial.
Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu:
1. Hiperkeratosis
Proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi.

2. Hiperparakeratosis
Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin dan parakeratin, hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus yang parah.
3. Akantosis
Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.

4. Dysplasia
Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu; adanya bentukan "epithel pearls" pada lapisan spinosum; perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan "giant nuclei"; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.
Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar. Bila ditemukan adanya basiler hiperlpasia maka didiagnosis sebagai carcinoma in situ.
Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral kelainan tersebut tampak jelas.
Diagnosis dan Diferensial Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis oral leukoplakia, perlu pemeriksaan dan gambaran histopatologis. Hal ini untuk mengetahui adanya proses diskeratosis. Meskipun pada pemeriksaan histopatologis tampak adanya proses diskeratosis, masih sulit dibedakan dengan carsinoma in situ, karena di antara keduanya tidak memiliki batasan yang jelas.
Pemeriksaan histopatologis juga diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya sel-sel "atypia" dan infiltrasi sel ganas yang masuk ke jaringan yang lebih dalam. Keadaan ini biasanya ditemukan pada squamus sel carsinoma ‘karsinoma sel skuamosa’. Karsinoma sel skuamosa merupakan kasus tumor ganas rongga mulut yang terbanyak dan lokasinya pada umumnya di lidah. Penyebab yang pasti dari karsinoma sel skuamosa belum diketahui, tetapi banyak lesi yang merupakan permulaan keganasan dan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya karsinoma tersebut. Lesi pra-ganas dan factor-faktor predisposisi itu adalah leukoplakia, perokok, pecandu alkohol, adanya iritasi setempat, defisiensi vitamin A,B, B12, kekurangan gizi, dll. Seperti halnya lesi pra-ganas rongga mulut lainnya, dalam stadium dini karsinoma ini tidak memberikan rasa sakit. Rasa sakit baru terasa apabila terjadi infeksi sekunder. Oleh karena itu, apabila ditemukan adanya lesi pra-ganas dalam rongga mulut, terutama leukoplakia, sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya "diferensial diagnosi" atau diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa dilakukan biopsy. Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah dengan pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga terdapat dalam rongga mulut, yang memerlukan diagnosis banding dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara lain: syphililitic mucous patches; "lupus erythematous" dan " white sponge nevus"; infeksi mikotik, terutama kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau makanan yang pedas.

Perawatan dan Prognosis

Perawatan leukoplakia dilakukan dengan mengeliminir faktor iritasi yang meliputi penggunaan tembakau (rokok), alkohol, memperbaiki higiene mulut, memperbaiki mal oklusi, dan memperbaiki gigi tiruan yang letaknya kurang baik, karena hal tersebut lebih banyak membantu mengurangi atau menghilangkan kelainan tersebut dibanding perawatan secara sistemik.
Perawatan lainnya adalah dengan melakukan eksisi secara "chirurgis" atau pembedahan terhadap lesi yang mempunyai ukuran kecil atau agak besar. Bila lesi telah mengenai dasar mulut dan meluas, maka pada daerah yang terkena perlu dilakukan "stripping".
Perawatan dengan pemberian vitamin B kompleks dan vitamin C dapat dilakukan sebagai tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut ditemukan adanya faktor malnutrisi vitamin. Peranan vitamin C dalam nutrisi erat kaitannya dengan pembentukan substansi semen intersellular yang penting untuk membangun jaringan penyangga. Karena, fungsi vitamin C menyangkut berbagai aspek metabolisme, antara lain sebagai elektron transport. Pemberian vitamin C dalam hubungannya dengan lesi yang sering ditemukan dalam rongga mulut adalah untuk perawatan suportif melalui regenerasi jaringan, sehingga mempercepat waktu penyembuhan. Perawatan yang lebih spesifik sangat tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi.

Prognosis

Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis menunjukkan hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah menunjukkan proses diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka prognosisnya kurang menggembirakan, karena diperkirakan akan berubah menjadi suatu keganasan.

Kesimpulan

Leukoplakia merupakan salah satu lesi praganas rongga mulut yang sering dijumpai. Meskipun lesi ini bukan termasuk dalam maligna (keganasan), dalam perkembangannya lesi tersebut dapat menjadi squamus sel karsinoma.
Pada pemeriksaan histopatologis, jika diketahui adanya sel-sel "atypia" dan infiltrasi sel ganas yang masuk ke jaringan yang lebih dalam, maka dapat dipastikan bahwa lesi ini telah berubah menjadi squamus sel karsinoma. Apabila leukoplakia telah berubah menjadi keganasan maka perawatan bagi penderita karsinoma tersebut dengan sistem pananganan keganasan secara keseluruhan dengan upaya promotif, preventif, dan kuratif secara terpadu.
Lesi leukoplakia pada umumnya sukar dibedakan dengan lesi berwarna putih lainnya yang juga terdapat di dalam rongga mulut. Karenanya, diperlukan adanya diferensial diagnosis atau diagnosis banding leukoplakia. Untuk memastikan diagnosis leukoplakia dengan lesi berwarna putih lainnya, diperlukan pemeriksaan histopatologis atau bila perlu dilakukan biopsi. Perawatan leukoplakia yang paling utama adalah mengeliminir faktor-faktor iritasi yang dapat menyebabkan terjadinya leukoplakia. Bila lesi masih kesil, perawatan yang dilakukan adalah dengan pembedahan pada lesi, atau stripping bila lesi telah meluas. Meskipun prognosis leukoplakia pada umumnya baik, apabila pada pemeriksaan ditemukan adanya proses diskeratosis, maka prognosisnya kurang baik. Karena lesi praganas ini bisa berubah menjadi suatu keganasan, sebaiknya pemeriksaan histopatologis yang teliti diperlukan untuk menegakkan diagnosis.



DAFTAR PUSTAKA
• Eversole; Sol Silverman, Essentials of Oral Medicine, 10th ed..
• Greenberg, M.S and Glick, M. Burket’s Oral Medicine. 10th ed. 2003.; BC Decker Inc. Spain
• Langlais, R.P. & C.S. Miller. 2000. Altas Berwarna Kelainan Rongga Mulut Yang Lazim. Alih Bahasa drg. Budi Susetyo. Hipokrates: Jakarta.

Kamis, 10 Maret 2011

Fisiologi Menstruasi

 Pada siklus menstruasi normal, terdapat produksi hormon-hormon yang paralel dengan pertumbuhan lapisan rahim untuk mempersiapkan implantasi (perlekatan) dari janin (proses kehamilan). Gangguan dari siklus menstruasi tersebut dapat berakibat gangguan kesuburan, abortus berulang, atau keganasan. Gangguan dari sikluas menstruasi merupakan salah satu alasan seorang wanita berobat ke dokter.

Siklus menstruasi normal berlangsung selama 21-35 hari, 2-8 hari adalah waktu keluarnya darah haid yang berkisar 20-60 ml per hari. Penelitian menunjukkan wanita dengan siklus mentruasi normal hanya terdapat pada 2/3 wanita dewasa, sedangkan pada usia reproduksi yang ekstrim (setelah menarche dan menopause) lebih banyak mengalami siklus yang tidak teratur atau siklus yang tidak mengandung sel telur. Siklus mentruasi ini melibatkan kompleks hipotalamus-hipofisis-ovarium.

Gambar 1. Kompleks Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium


Siklus Menstruasi Normal
Sikuls menstruasi normal dapat dibagi menjadi 2 segmen yaitu, siklus ovarium (indung telur) dan siklus uterus (rahim). Siklus indung telur terbagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu siklus folikular dan siklus luteal, sedangkan siklus uterus dibagi menjadi masa proliferasi (pertumbuhan) dan masa sekresi.

Perubahan di dalam rahim merupakan respon terhadap perubahan hormonal. Rahim terdiri dari 3 lapisan yaitu perimetrium (lapisan terluar rahim), miometrium (lapisan otot rehim, terletak di bagian tengah), dan endometrium (lapisan terdalam rahim). Endometrium adalah lapisan yangn berperan di dalam siklus menstruasi. 2/3 bagian endometrium disebut desidua fungsionalis yang terdiri dari kelenjar, dan 1/3 bagian terdalamnya disebut sebagai desidua basalis.

Sistem hormonal yang mempengaruhi siklus menstruasi adalah:
1. FSH-RH (follicle stimulating hormone releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan FSH
2. LH-RH (luteinizing hormone releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan LH
3. PIH (prolactine inhibiting hormone) yang menghambat hipofisis untuk mengeluarkan prolaktin

Gambar 2. Siklus Hormonal


Pada setiap siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh hipofisis merangsang perkembangan folikel-folikel di dalam ovarium (indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel yang terangsang namun dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari 1, dan folikel tersebut berkembang menjadi folikel de graaf yang membuat estrogen. Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon yang kedua yaitu LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh releasing hormones yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen.

Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dari endometrium. Di bawah pengaruh LH, folikel de graaf menjadi matang sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi, dibentuklah korpus rubrum yang akan menjadi korpus luteum, di bawah pengaruh hormon LH dan LTH (luteotrophic hormones, suatu hormon gonadotropik). Korpus luteum menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar endometrium. Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan progesteron. Penurunan kadar hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan, dan pelepasan dari endometrium. Proses ini disebut haid atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan.

Pada tiap siklus dikenal 3 masa utama yaitu:
1. Masa menstruasi yang berlangsung selama 2-8 hari. Pada saat itu endometrium (selaput rahim) dilepaskan sehingga timbul perdarahan dan hormon-hormon ovarium berada dalam kadar paling rendah
2. Masa proliferasi dari berhenti darah menstruasi sampai hari ke-14. Setelah menstruasi berakhir, dimulailah fase proliferasi dimana terjadi pertumbuhan dari desidua fungsionalis untuk mempersiapkan rahim untuk perlekatan janin. Pada fase ini endometrium tumbuh kembali. Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel telur dari indung telur (disebut ovulasi)
3. Masa sekresi. Masa sekresi adalah masa sesudah terjadinya ovulasi. Hormon progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium untuk membuat kondisi rahim siap untuk implantasi (perlekatan janin ke rahim)

Siklus ovarium :
1. Fase folikular. Pada fase ini hormon reproduksi bekerja mematangkan sel telur yang berasal dari 1 folikel kemudian matang pada pertengahan siklus dan siap untuk proses ovulasi (pengeluaran sel telur dari indung telur). Waktu rata-rata fase folikular pada manusia berkisar 10-14 hari, dan variabilitasnya mempengaruhi panjang siklus menstruasi keseluruhan
2. Fase luteal. Fase luteal adalah fase dari ovulasi hingga menstruasi dengan jangka waktu rata-rata 14 hari

Siklus hormonal dan hubungannya dengan siklus ovarium serta uterus di dalam siklus menstruasi normal:
1. Setiap permulaan siklus menstruasi, kadar hormon gonadotropin (FSH, LH) berada pada level yang rendah dan sudah menurun sejak akhir dari fase luteal siklus sebelumnya
2. Hormon FSH dari hipotalamus perlahan mengalami peningkatan setelah akhir dari korpus luteum dan pertumbuhan folikel dimulai pada fase folikular. Hal ini merupakan pemicu untuk pertumbuhan lapisan endometrium
3. Peningkatan level estrogen menyebabkan feedback negatif pada pengeluaran FSH hipofisis. Hormon LH kemudian menurun sebagai akibat dari peningkatan level estradiol, tetapi pada akhir dari fase folikular level hormon LH meningkat drastis (respon bifasik)
4. Pada akhir fase folikular, hormon FSH merangsang reseptor (penerima) hormon LH yang terdapat pada sel granulosa, dan dengan rangsangan dari hormon LH, keluarlah hormon progesteron
5. Setelah perangsangan oleh hormon estrogen, hipofisis LH terpicu yang menyebabkan terjadinya ovulasi yang muncul 24-36 jam kemudian. Ovulasi adalah penanda fase transisi dari fase proliferasi ke sekresi, dari folikular ke luteal
6. Kedar estrogen menurun pada awal fase luteal dari sesaat sebelum ovulasi sampai fase pertengahan, dan kemudian meningkat kembali karena sekresi dari korpus luteum
7. Progesteron meningkat setelah ovulasi dan dapat merupakan penanda bahwa sudah terjadi ovulasi
8. Kedua hormon estrogen dan progesteron meningkat selama masa hidup korpus luteum dan kemuadian menurun untuk mempersiapkan siklus berikutnya




a. Fase Proliferasi
Dinamakan juga fase folikuler, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium beraktivitas membentuk dan mematangkan folikel-folikelnya serta uterus beraktivitas menumbuhkan lapisan endometriumnya yang mulai pulih dan dibentuk pada fase regenerasi atau pascahaid.

Pada siklus haid klasik, fase proliferasi berlangsung setelah perdarahan haid berakhir, dimulai pada hari ke-5 sampai 14 (terjadinya proses evolusi). Fase proliferasi ini berguna untuk menumbuhkan lapisan endometrium uteri agar siap menerima sel ovum yang telah dibuahi oleh sel sperma, sebagai persiapan terhadap terjadinya proses kehamilan.

Pada fase ini terjasi pematangan folikel-folikel di dalam ovarium akibat pengaruh aktivitas hormone FSH yang merangsang folikel-folikel tersebut untuk menyintesis hormone estrogen dalam jumlah yang banyak. Peningkatan pembentukan dan pengaruh dari aktivitas hormone FSH pada fase ini juga mengakibatkan terbentuknya banyak reseptor hormone LH dilapisan sel-sel granulose dan cairan folikel-folikel dalam ovarium. Pembentukan hormone estrogen yang terus meningkat tersebut—sampai kira-kira pada hari ke-13 siklus haid (menjelang terjadinya proses ovulasi)—akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran hormone LH yang banyak sebagai manifestasi umpan balik positif dari hormone estrogen (positive feed back mechanism) terhadap adenohipofisis.

Pada saat mendekati masa terjadinya proses ovulasi, terjadi peningkatan kadar hormone LH di dalam serum dan cairan folikel-folikel ovarium yang akan memacu ovarium untuk mematangkan folikel-folikel yang dihasilkan di dalamnya sehingga sebagian besar folikel di ovarium diharapkan mengalami pematangan (folikel de Graaf). Disamping itu, akan terjadi perubahan penting lainnya, yaitu peningkatan konsentrasi hormone estrogen secara perlahan-lahan, kemudian melonjak tinggi secara tiba-tiba pada hari ke-14 siklus haid klasik (pada akhir fase proliferasi), biasanya terjadi sekitar 16-20 jam sebelum pecahnya folikel de Graaf, diikuti peningkatan dan pengeluaran hormone LH dari adenohipofisis, perangsangan peningkatan kadar hormone progesterone, dan peningkatan suhu basal badan sekitar 0,5°C. Adanya peningkatan pengeluaran kadar hormone LH yang mencapai puncaknya (LH-Surge), estrogen dan progesterone menjelang terjadinya proses tersebut di ovarium pada hari ke-14 siklus haid.

Di sisi lain, aktivitas hormone estrogen yang terbentuk pada fase proliferasi tersebut dapat mempengaruhi tersimpannya enzim-enzim dalam lapisan endometrium uteri serta merangsang pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida pada lapisan tersebut. Zat-zat ini akan turut serta dalam pembentukan dan pembangunan lapisan endometrium uteri, khususnya pembentukan stroma di bagian yang lebih dalam dari lapisan endometrium uteri. Pada saat yang bersamaan terjadi pembentukan system vaskularisasi ke dalam lapisan fungsional endometrium uteri.

Selama fase prolferasi dan terjadinya proses ovulasi—di bawah pengaruh hormone estrogen—terjadi pengeluaran getah atau lendir dari dinding serviks uteri dan vagina yang lebih encer dan bening. Pada saat ovulasi getah tersebut mengalami penurunan konsentrasi protein (terutama albumin), sedangkan air dan musin (pelumas) bertambah berangsur-angsur sehingga menyebabkan terjadinya penurunan viskositas dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya tersebut. Peristiwa ini diikuti dengan terjadinya proses-proses lainnya di dalam vagina, seperti peningkatan produksi asam laktat dan menurunkan nilai pH (derajat keasaman), yang akan memperkecil resiko terjadinya infeksi di dalam vagina. Banyaknya getah yang dikeluarkan dari daerah serviks uteri dan vagina tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya kelainan yang disebut keputihan karena pada flora normal di dalam vagina juga terdapat microorganisme yang bersifat pathogen potensial. Sebaliknya, sesudah terjadinya proses ovulasi (pada awal fase luteal)—di bawah pengaruh hormone progesterone—getah atau lendir yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina menjadi lebih kental dan keruh.

Setelah terjadinya proses ovulasi, getah tersebut mengalami perubahan kembali dengan peningkatan konsentrasi protein, sedangkan air dan musinnya berkurang berangsur-angsur sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan viskositas dan pengentalan dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya. Dengan kata lain, pada fase ini merupakan masa kesuburan wanita.


b. Fase Luteal

Dinamakan juga fase sekresi atau fase prahaid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium beraktivitas membentuk korpus luteum dari sisa-sisa folikel matangnya (folikel de Graaf) yang sudah mengeluarkan sel ovumnya pada saat terjadinya ovulasi dan menghasilkan hormone progesterone yang akan digunakan sebagai penunjang lapisan endometrium uteri untuk bersiap-siap menerima hasil konsepsi (jika terjadi kehamilan) atau melakukan proses deskuamasi dan penghambatan masuknya sel sperma (jika tidak terjadi kehamilan). Pada hari ke-14 (setelah terjadinya proses ovulasi) sampai hari ke-28, berlangsung fase luteal. Pada fase ini mempunyai ciri khas tertentu, yaitu terbentuknya korpus luteum ovarium serta perubahan bentuk (menjadi memanjang dan berkelok-kelok) dan fungsi dari kelenjar-kelenjar di lapisan endometrium uteri akibat pengaruh dari peningkatan hormone LH yang diikuti oleh pengeluaran hormone progesterone. Adanya pengaruh aktivitas hormone progesterone dapat menyebabkan terjadinya perubahan sekretorik, terutama pada lapisan endometrium uteri. Pengaruh aktivitas hormone progesterone selama fase luteal dapat meningkatkan konsentrasi getah serviks uteri menjadi lebih kental dan membentuk jala-jala tebal di uterus sehingga akan menghambat proses masuknya sel sperma ke dalam uterus. Bersamaan dengan hal ini, hormone progesterone akan mempersempit daerah porsio dan serviks uteri sehingga pengaruh aktivitas hormone progesterone yang lebih lama, akan menyebabkan degenerasi dari lapisan endometrium uteri dan tidak memungkinkan terjadinya proses nidasi dari hasil konsepsi ke dinding uterusnya.

Peningkatan produksi hormone progesterone yang telah dimulai sejak akhir fase folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase luteal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas hormone estrogen dalam menyintesis reseptor-reseptornya (reseptor hormone LH dan progesterone) di ovarium dan terjadinya perubahan sintesis hormon-hormon seks steroid (hormone estrogen menjadi hormone progesterone) di dalam sel-sel granulose ovarium. Perubahan ini secara normal mencapai puncaknya pada hari ke-22 siklus haid klasik karena pada masa ini pengaruh hormone progesterone terhadap lapisan endometrium uteri paling jelas terlihat. Jika proses nidasi tersebut tidak terjadi, hormone estrogen dan progesterone akan menghambat sintesis dan aktivitas hormone FSH dan LH di adenohipofisis sehingga membuat korpus luteum menjadi tidak dapat tumbuh dan berkembang kembali, bahkan mengalami penyusutan dan selanjutnya menghilang. Di sisi lain, pada masa menjelang terjadinya perdarahan haid, pengaruh aktivitas hormone progesterone tersebut juga akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah yang diikuti dengan dengan terjadinya ischemia dan nekrosis pada sel-sel dan jaringan endometrium uterinya sehingga memungkinkan terjadinya proses deskuamasi lapisan endometrium uteri yang disertai dengan terjadinya perdarahan dari daerah tersebut yang dikeluarkan melalui vagina. Akhirnya, bermanifestasi sebagai perdarahan haid.

Pada saat setelah terjadinya proses ovulasi di ovarium, sel-sel granulosa ovarium akan berubah menjadi sel-sel luteal ovarium, yang berperan dalam peningkatan pengeluaran hormon progesteron selama fase luteal siklus haid. Faktanya menunjukan bahwa salah satu peran dari hormon progesteron adalah sebagai pendukung utama terjadinya proses kehamilan. Apabila proses kehamilan tersebut tidak terjadi, peningkatan hormon progesteron yang terjadi tersebut akan mengikuti terjadinya penurunan hormon LH dan secara langsung hormon progesteron (bersama dengan hormon estrogen) akan melakukan penghambatan terhadap pengeluaran hormon FSH, LH, dan LHRH, yang derajat hambatannya bergantung pada konsentrasi dan lamanya pengaruh hormon progesteron tersebut. Kemudian melalui mekamisme ini secara otomatis hormon-hormon progesteron dan estrogen juga akan menurunkan pengeluaran hormon LH, FSH, dan LHRH tersebut sehingga proses sintesis dan sekresinya dari ketiga hormon hipofisis tersebut, yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan folikel-folikel dan proses ovulasi di ovarium selama fase luteal, akan berkurang atau berhenti, dan akan menghambat juga perkembangan dari korpus luteum. Pada saat bersamaan, setelah terjadinya proses ovulasi, kadar hormon estrogen mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya puncak peningkatan kadar hormon LH dan aktivitasnya yang terbentuk ketika proses ovulasi terjadi dan berakibat terjadi proliferasi dari sel-sel granulosa ovarium, yang secara langsung akan menghambat dan menurunkan proses sintesis hormon estrogen dan FSH serta meningkatkan pembentukan hormon progesteron di ovarium.

Di akhir fase luteal, terjadi penurunan reseptor-reseptor dan aktivitas hormon LH di ovarium secara berangsur-angsur, yang diikuti penurunan proses sintesis hormon-hormon FSH dan estrogen yang telah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa akhir fase luteal akan terjadi pembentukan kembali hormon FSH dan estrogen dengan aktivitas-aktivitasnya di ovarium dan uterus.

Beberapa proses lainnya yang terjadi pada awal sampai pertengahan fase luteal adalah terhentinya proses sintesis enzim-enzim dan zat mukopolisakarida yang telah berjalan sebelumnya sejak masa awal fase proliferasi. Akibatnya, terjadi peningkatan permeabilitas (kebocoran) dari pembuluh-pembuluh darah di lapisan endometrium uteri yang sudah berkembang sejak awal fase proliferasi dan banyak zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya mengalir menembus langsung stroma dari lapisannya tersebut.

Proses tersebut dijadikan sebagai persiapan lapisan endometrium uteri untuk melakukan proses nidasi terhadap hasil konsepsi yang terbentuk jika terjadi proses kehamilan. Jika tidak terjadi proses kehamilan, enzim-enzim dan zat mukopolisakarida tersebut akan dilepaskan dari lapisan endometrium uteri sehingga proses nekrosis dari sel-sel dan jaringan pembuluh-pembuluh darah pada lapisan tersebut. Hal itu menimbulkan gangguan dalam proses terjadinya metabolisme sel dan jaringannya sehingga terjadi proses regresi atau deskuamasi pada lapisan tersebut dan disertai perdarahan.

Pada saat yang bersamaan, peningkatan pengeluaran dan pengaruh hormon progesteron (bersama dengan hormon estrogen) pada akhir fase luteal akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah di lapisan endometrium uteri, yang kemudian dapat menimbulkan terjadinya proses ischemia di lapisan tersebut sehingga akan menghentikan proses metabolisme pada sel dan jaringannya. Akibatnya, terjadi regresi atau deskuamasi pada lapisan tersebut disertai perdarahan. Perdarahan yang terjadi ini merupakan manifestasi dari terjadinya perdarahan haid.


c. Fase Menstruasi

Dinamakan juga fase deskuamasi atau fase haid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) terjadinya proses deskuamasi pada lapisan endometrium uteri disertai pengeluaran darah dari dalam uterus dan dikeluarkan melalui vagina.
Pada akhir fase luteal terjadi peningkatan hormon estrogen yang dapat kembali menyebabkan perubahan sekretorik pada dinding uterus dan vagina, berupa peningkatan produksi dan penurunan konsentrasi getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina serta peningkatan konsentrasi glikogen dalam serviks uteri dan vagina. Hal ini memungkinkan kembali terjadinya proses peningkatan pengeluaran getah yang lebih banyak dari serviks uteri dan vaginanya serta keputihan.

Pada saat akhir fase luteal, peningkatan kadar dan aktivitas hormon estrogen yang terbentuk kembali masih belum banyak sehingga terjadinya proses-proses perangsangan produksi asam laktat oleh bakteri-bakteri flora normal dan penurunan nilai derajat keasaman, yang diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya infeksi di dalam vagina menjadi tidak optimal, dan ditambah penumpukan getah yang sebagian besar masih dalam keadaan mengental. Oleh karena itu, pada saat menjelang proses perdarahan haid tersebut, daerah vagina menjadi sangat beresiko terhadap terjadinya penularan penyakit (infeksi) melalui hubungan persetubuhan (koitus).

Terjadinya pengeluaran getah dari serviks uteri dan vagina tersebut sering bercampur dengan pengeluaran beberapa tetesan darah yang sudah mulai keluar menjelang terjadinya proses perdarahan haid dari dalam uterus dan menyebabkan terlihatnya cairan berwarna kuning dan keruh, yang keluar dari vaginanya. Sel-sel darah merah yang telah rusak dan terkandung dari cairan yang keluar tersebut akan menyebabkan sifat bakteri-bakteri flora normal yang ada di dalam vagina menjadi bersifat infeksius (patogen potensial) dan memudahkannya untuk berkembang biak dengan pesat di dalam vagina. Bakteri-bakteri infeksius yang terkandung dalam getah tersebut, kemudian dikeluarkan bersamaan dengan pengeluaran jaringan dari lapisan endometrium uteri yang mengalami proses regresi atau deskuamasi dalam bentuk perdarahan haid atau dalam bentuk keputihan yang keluar mendahului menjelang terjadinya haid.

Pada saat bersamaan, lapisan endometrium uteri mengalami iskhemia dan nekrosis, akibat terjadinya gangguan metabolisme sel atau jaringannya, yang disebabkan terhambatnya sirkulasi dari pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi lapisan tersebut akibat dari pengaruh hormonal, ditambah dengan penonjolan aktivasi kinerja dari prostaglandin F2α(PGF2α) yang timbul akibat terjadinya gangguan keseimbangan antara prostaglandin E2(PGE2) dan F2α (PGF2α) dengan prostasiklin (PGI2), yang disintesis oleh sel-sel endometrium uteri (yang telah mengalami luteinisasi sebelumnya akibat pengaruh dari homogen progesteroon). Semua hal itu akan menjadikan lapisan edometrium uteri mengalami nekrosis berat dan sangat memungkinkan untuk mengalami proses deskuamasi.

Pada fase menstruasi ini juga terjadi penyusutan dan lenyapnya korpus luteum ovarium (tempat menetapnya reseptor-reseptor serta terjadinya proses pembentukan dan pengeluaran hormon progesteron dan LH selama fase luteal).


d. Fase Regenerasi

Dinamakan juga fase pascahaid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) terjadinya proses awal pemulihan dan pembentukan kembali lapisan endometrium uteri setelah mengalami proses deskuamasi sebelumnya. Bersamaan dengan proses regresi atau deskuamasi dan perdarahan haid pada fase menstruasi tersebut, lapisan endometrium uteri juga melepaskan hormon prostaglandin E2 dan F2, yang akan mengakibatkan berkontraksinya lapisan mimometrium uteri sehingga banyak pembuluh darah yang terkandung di dalamnya mengalami vasokontriksi, akhirnya akan membatasi terjadinya proses perdarahan haid yang sedang berlangsung.

Di sisi lain, proses penghentian perdarahan haid ini juga didukung oleh pengaktifan kembali pembentukan dan pengeluaran hormon FSH dan estrogen sehingga memungkinkan kembali terjadinya pemacuan proses proliferasi lapisan endometrium uteri dan memperkuat kontraksi otot-otot uterusnya. Hal ini secara umum disebabkan oleh penurunan efek hambatan terhadap aktivitas adenohipofisis dan hipotalamus yang dihasilkan dari hormon progesteron dan LH (yang telah terjadi pada fase luteal), saat terjadinya perdarahan haid pada fase menstruasi sehingga terjadi pengaktifan kembali dari hormon-hormon LHRH, FSH, dan estrogen. Kemudian bersamaan dengan terjadinya proses penghentian perdarahan haid ini, dimulailah kembali fase regenerasi dari siklus haid tersebut

 Mapping Siklus Menstruasi

Rabu, 09 Maret 2011

FISIOLOGI ENDOKRIN

Empat ujuan/kegunaan Paling Penting dari Sistem Endokrin

1. HOMEOSTASIS (Temperatur/thermoregulation, metabolisme, nutrisi, keseimbangan asam basa)

2. COMBATING STRESS (infeksi, trauma, shock)

3. GROWTH & DEVELOPMENT (mengembangkan jumlah sel/Hyperplasia, dan mengembangkan ukuran sel/hypertrophy).

4. REPRODUCTION (mensekresikan hormon sex pada laki-laki dan perempuan/ mengembangkan karakteristik organ sex primer dan sekunder ).


Kelenjar endokrin bekerja seolah-olah/ seperti layaknya sebuah orchestra, conductornya adalah kelenjar pituitary, dan otaknya conductor yang menjalankan si conductor adalah hypotalamus.

Endokrinologi merupakan cabang ilmu biologi yang membahas tentang hormon dan aktivitasnya. Hormon merupakan satu dari sistem komunikasi utama dalam tubuh meskipun kadarnya hanya dalam jumlah yang sangat kecil namun dapat menjalankan atau menghentikan proses-proses metabolik. Hormon disekresikan langsung oleh khusus yaitu yang ada pada kelenjar endokrin, hormon berupa senyawa kimia, ada dalam darah dengan kadar yang sangat rendah, fungsinya pengatur metabolisme jaringan.

Sistem endokrin bekerja sama secara kooperatif dengan sistem saraf dan disebut dengan sistem neuroendokrin yang memiliki fungsi kendali dan koordinasi pada hewan. Perbedaan cara kerja antara sistem endokrin dan sistem saraf yaitu pada sistem endokrin cara kerjanya dengan menggunakan transmisi kimia dan waktu respons lambat. Sedangkan pada sistem saraf cara kerjanya yaitu dengan menggunakan transmisi elektrik dan waktu respons yang cepat.

Efek hormon pada tubuh hewan yaitu, kelenjar endokrin mensekresikan hormon dan hormon tersebut akan ditangkap/diterima oleh organ sasaran melalui reseptor khusus, dan apabila ikatannya sudah tepat, maka akan mengaktivasi enzim di sel dan diperantai oleh duta kedua, maka metabolisme dan fungsi sel sasaran akan aktif dan memberikan efek biologis untuk menunjang aktivitas kehidupan yaitu berupa perkembangan, pertumbuhan, peredaran darah, denyut jantung, osmoregulasi, komposisi darah, regenerasi, pengeluaran, reproduksi, dan pergantian kulit.

Konsep mekanisme kerja hormon yaitu dengan

1. Konsep klasik : kelenjar endokrin mensekresikan hormon melalui sistem sirkulasi dan akan diterima oleh sel target.

2. Autokrin : sel target mensekresikan hormon dan akan diterima kembali oleh sel target tersebut.

3. Parakrin : sel target mensekresikan hormon, dan hormon tersebut akan diterima oleh sel target lainnya.


Komponen Penyusun Organ Endokrin

1. Sel neurosekretori

Yaitu pada hewn tingkat tinggi dan tingkat rendah, penhasil hormon dan berbentuk seperti sel saraf, mekanisme kerjanya yaitu sel neurosekretori yang berada pada hipotalamus akan melepaskan neurohormon melalui saluran darah dan akan diterima langsung oleh sel target. Dan cara yang kedua yaitu, sel neurosekretori mensekresikan neurohormon lalu akan di simpan di organ neurohemal (tempat penyimpanan sementara), dan apabila diperlukan, neuro hormon tersebut akan dilepaskan melalui saluran darah lalu akan diterima oleh sel target.


2. Sel Endokrin Sejati

Berbentuk tidak seperti sel saraf, dan berfungsi sejati sebagai penghasil hormon. Hormon yang dihasilkan secara langsung akan dilepaskan kedalam darah (hanya pada hewan yang memiliki sistem sirkulasi).


Klasifikasi Hormon

1. Berdasarkan Struktur Kimia

a. Hormon Protein (jumlah asam aminonya bervariasi tergantung pada spesies dan terdiri atas polimer asam amino dan tidak larut dalam lemak)

b. Hormon Steroid (dihasilkan dari metabolisme dan proses konversi kolesterol yang mengandung 27 atom karbon (C-27) dan larut dalam lemak )

c. Hormon asam amino (berasal dari asam amino yang mengalami modifikasi )

d. Zat Kimia yang Menyerupai Hormon (zat kimia yang menyerupai hormon antara lain : bradikinin, eritropuitin, hormon thymic, dan feromon )


2. Berdasarkan Fungsi

a. HORMON PERKEMBANGAN (Hormon yang memegang peranan di dalam perkembangan, pertumbuhan, dan reproduksi)

b. HORMON METABOLISME (Hormon yang mempunyai peranan dalam proses metabolisme)

c. HORMON TROFIK (Hormon yang dihasilkan oleh suatu sistem yang merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon)

d. HORMON PENGATUR METABOLISME MINERAL DAN AIR (Hormon yang mengatur homeostatik mineral dan konservasi air tubuh )

e. HORMON PENGATUR SISTEM KARDIOVASKULER (Hormon yang mengatur aktivitas konduksi dan kontraksi jantung )


Sintesis Hormon dan Pengaturannya

Tahapan proses sintesis hormon

1. TAHAP PERTAMA : Hormon disintesis di dalam RE kasar yang terdiri dari poliribosom dan melekat pada kantung (sacculus)

2. TAHAP KEDUA : Melalui sisterne ini hormon ini dihantar ke dalam aparatus Golgi baik secara langsung dengan menembus membran aparatus golgi atau dengan cara membentuk vesikel (elemen transisi) dan selanjutnya elemen transisi ini akan masuk ke dalam aparatus Golgi

3. TAHAP KETIGA : Di dalam aparatus Golgi, dibentuk butir-butir sekretoris yang mengandung hormon yang masih sedikit, selanjutnya seiring dengan waktu akan menjadi dewasa

4. TAHAP KEEMPAT : Setelah dewasa, butir-butir sekretoris ini kemudian dihantar ke arah membran plasma. Selanjutnya terjadi fusi antara membran plasma dengan butir-butir sekretoris dan akhirnya akan terjadi sekresi hormon yang terdapat di dalam butir-butir sekretoris dengan jalan eksositosis ke dalam cairan ekstraseluler


SINTESIS HORMON PROTEIN

Langkah – langkah Sintesis

1. TRANSKRIPSI

1) proses pembentukan RNA dari templet DNA. RNA yang terbentuk akan menjadi bahan baku (precursor) dalam proses selanjutnya. Langkah ini berlangsung di dalam inti sel

2) RNA precursor dibentuk menjadi RNA pembawa informasi, dengan jalan melakukan pemotongan RNA dan kemudian digabungkan kembali segmen-segmennya serta melakukan modifikasi dengan polyadenylation dan penambahan 7-methylguanosine


2. TRANSLASI

1) mRNA meninggalkan inti sel dengan menembus membran inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Berikutnya akan terjadi penyusunan asam amino dengan jalan pembentukan pasangan yang spesifik antara basa dari antikodon yang terdapat di dalam tRNA dengan kodon yang sesuai yang terdapat di dalam mRNA yang ada dalam poliribosom. Selanjutnya terjadinya polimerisasi asam amino untuk membentuk rantai polipeptida

2) Langkah ini terjadi di RE kasar. Polipeptida ini mengalami penguraian ikatan oleh enzim protease sehingga menghasilkan hasil akhir yang dikehendaki atau juga dengan biosintesis dengan terlebih dahulu menghasilkan hasil antara. Reaksi lainnya adalah terjadinya glikosilasi, fosforilasi, dan asetilasi dari asam amino




Aksi reseptor hormon pada membran

1. AKSI PERTAMA : Hormon berikatan dengan reseptor yang mengakibatkan aktivasi protein-G dan terjadi fosforilasi GDP menjadi GTP. Hal ini akan mengubah konformasi protein-G menjadi subunit penyusunnya

2. AKSI KEDUA : Subunit protein yang mengikat GTP akan mengaktivasi enzim adenil siklase. Selanjutnya GTP diubah kembali menjadi GDP oleh GTP-ase protein. Hal ini mengaktifkan molekul adenil siklase untuk melepaskan gugus fosfat dari ATP sehingga terbentuklah AMP siklik (c-AMP).c-AMP akan mengaktifkan protein kinase. Setelah melaksanakan fungsinya c-AMP akan diubah menjadi AMP oleh fosfodiesterase

3. AKSI KETIGA : Protein kinase aktif akan memfosforilasi protein pengatur inaktif sehingga berubah menjadi protein pengatur aktif. Proses ini merupakan fosoforilasi tahap akhir yang akan menimbulkan tanggapan sel terhadap hormon



AKSI RESEPTOR HORMON PADA SITOPLASMA

Reseptor hormon yang terdapat dalam sitoplasma sel sasaran dan digunakan oleh hormon steroid dan hormon turunan asam amino. Hormon steroid dan hormon turunan asam amino mudah larut dalam lemak dan mudah melewati membran sel dengan berikatan dengan molekul pengemban.



SISTEM ENDOKRIN PADA HEWAN INVERTEBRATA

Sistem endokrin pada hewan invertebrata tidak mempunyai organ sekresi hormon, tugasnya yaitu sebagai neurosekretori, dan memiliki fungsi sebagai Pertumbuhan, Perkembangan, Regenerasi, Reproduksi Osmoregulasi, Laju denyut jantung, Komposisi darah, Pergantian kulit.


SISTEM ENDOKRIN PADA HEWAN VERTEBRATA

1. HIPOTALAMUS / kelenjar induk (master of gland)

bagian dari otak yang tumbuh dan berkembang dari tabung neural yang berperan dalam mempertemukan sistem saraf dan endokrin serta berfungsi mengendalikan kelenjar pituitari

2. Pituitari

pituitari terletak di bawah dasar otak dan bergantung kepada sebuah tangkai bekerja di bawah pengaruh hipotalamus dan berfungsi mengendalikan kelenjar endokrin

3. Kelenjar Endokrin Tepi

organ endokrin di luar hipotalamus dan pituitari



HUBUNGAN SISTEM ENDOKRIN DENGAN METABOLISME GULA DARAH

· Kadar gula dalam darah juga dikendalikan oleh hormon, terutama insulin dan glukagon

· Hormon insulin dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas dan sangat penting untuk menurunkan kadar gula dalam darah

· Insulin meningkatkan kecepatan transpor glukosa melalui membran sel hati. Dalam sel hati gula akan mengalami katabolisme atau disimpan

· Hormon insulin juga dapat meningkatkan aktivitas enzim glukokinase, suatu enzim yang dibutuhkan dalam proses pembentukan glikogen (glikogenesis) dan katabolisme gula

· Kekurangan insulin dalam tubuh akan menurunkan tingkat katabolisme glukosa serta menurunkan sintesis dan penyimpanan glikogen. Akibatnya, kadar gula dalam darah meningkat

· Selanjutnya, hormon lain yang juga dapat mempengaruhi kadar gula darah yaitu hormon pertumbuhan (growth hormone/GH). GH menyebabkan peningkatan kadar gula darah

Selasa, 08 Maret 2011

Hormon Epinefrin

       LOKASI SINTESIS
Hormon epinefrin disintesis pada kelenjar adrenal bagian medulla oleh sel-sel kromafin.
SEL TARGET
Sel target epinefrin adalah sel saraf dari semua reseptor simpatis di seluruh tubuh.
PROSES SINTESIS
Epinefrin disintesis dari norepinefrin dalam sebuah jalur sintesis yang terbagi atas keseluruhan katekolamin, termasuk L-dopa, dopamine, norepinefrin, and epinefrin.
Epinefrin disintesis melalui metilasi terhadap amina pangkal primer pada norepinefrin oleh feniltanolamin N-metiltransferase (PNMT) dalam sitosol neuron adrenergik dan sel-sel medulla adrenal (sel kromafin). PNMT hanya terdapat pada sitosol sel-sel medula adrenal.. PNMT menggunakan S-adenosilmetionin (SAMe) sebagai ko-faktor yang menyumbangkan gugus metil pada norepinefrin, membentuk epinefrin.
Karena norepinefrin diaktifkan oleh PNMT dalam sitosol, pertama norepinefrin harus diubah di luar granula sel kromafin. Hal ini bisa terjadi via katekholamin-H+ penukar VMAT1. VMAT1 juga bertanggung jawab mentransport epinefrin yang baru disintesis dari sitosol kembali ke dalam granula sel kromafin untuk persiapan pelepasan.
Jalur biosintetik utama : fenilalanin→tirosin→dopa→dopamin→norepinefrin→ epinefrin.
Tirosin dioksidasi menjadi dopa, dan mengalami dekarboksilasi menjadi dopamin, yang dioksidasi menjadi norepinefrin. Norepinefrin dimetilasi menjadi epinefrin. Hasil akhir biosintesis epinefrin dan norepinefrin atau disebut katekolamin dapat berupa dopamin pada jaringan-jaringan tertentu (misalnya paru, usus, hati) di sana zat tersebut bereaksi sebagai hormon lokal (Bagnara dan Turner, 1988).
Norepinefrin terbentuk melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi tirosin, dan epinefrin melalui metilasi norepinefrin. Feniletanolamin-N-metiltransferase (PNMT), enzim yang mengkatalisis pembentukan epinefrin/epinefrin dari norepinefrin, ditemukan dalam jumlah cukup banyak hanya di otak dan medulla adrenal. PNMT medulla adrenal diinduksi oleh glukokortikoid, dan walaupun diperlukan jumlah relatif besar, konsentrasi glukokortikoid dalam darah yang mengalir dari korteks ke medula cukup tinggi. Setelah hipofisektomi, konsentrasi glukokortikoid darah ini turun dan sintesis epinefrin menurun.
Epinefrin yang ditemukan dalam jaringan di luar medulla adrenal dan otak sebagian besar diserap dari darah dan bukan disintesis in situ. Yang menarik, epinefrin kadar rendah kembali muncul dalam darah beberapa waktu setelah adrenalektomi bilateral, dan kadar ini diatur seperti yang disekresi oleh medula adrenal (Ganong, 1995).
FUNGSI / EFEK FISIOLOGIS
Hormon epinefrin berfungsi memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Tidak hanya gerak, hormon ini pun memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau intensitas cahaya yang tinggi. Reaksi yang sering dirasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan/shok.
Fungsi hormon ini mengatur metabolisme glukosa terutama disaat stres. Hormon epinefrin timbul sebagai stimulasi otak, menjadi waswas dan siaga. Dan secara tidak langsung akan membuat indra kita menjadi lebih sensitif untuk bereaksi. Stres dapat meningkatkan produksi kelenjar atau hormon epinefrin. Sebenarnya, jika tidak berlebihan, hormon bisa berakibat positif, lebih terpacu untuk bekerja atau membuat lebih fokus. Tetapi, jika hormon diproduksi berlebihan akibat stres yang berkepanjangan, akan terjadi kondisi kelelahan bahkan menimbulkan depresi. Penyakit fisik juga mudah berdatangan, akibat dari darah yang terpompa lebih cepat, sehingga menganggu fungsi metabolisme dan proses oksidasi di dalam tubuh.
Epinefrin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Hormon epinefrin menyebar di seluruh tubuh, dan menimbulkan tanggapan yang sangat luas: laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah meningkat, kadar gula darah dan laju metabolisme meningkat, bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru lebih mudah, pupil mata membesar, kelopak mata terbuka lebar, dan diikuti dengan rambut berdiri.
Keadaan stres akan merangsang pengeluaran hormon epinefrin secara berlebihan sehingga menyebabkan jantung berdebar keras dan cepat. Hormon epinefrin diproduksi dalam jumlah banyak pada saat sedang marah. Indikasi stres adalah sulit tidur, cepat lelah, mudah terusik, kepala pusing, dan sebagainya. Penderita stres umumnya juga kehilangan nafsu makan.
Hormon epinefrin mempengaruhi otak akan membuat indra perasa merasa kebal terhadap sakit, kemampuan berpikir dan ingatan meningkat, paru-paru menyerap oksigen lebih banyak, glukogen diubah menjadi glukosa yang bersama-sama dengan oksigen merupakan sumber energi. Detak jantung dan tekanan darah juga meningkat sehingga metabolisme meningkat.
Hormon ini berfungsi untuk mencegah efek penuaan dini seperti melindungi dari Alzheimer, penyakit jantung, kanker payudara dan ovarium juga osteoporosis. Semakin tinggi tingkat DHEA (dehidroepiandrosteron) dalam tubuh, maka makin padat tulang.
Molekul-molekul epinefrin memiliki fungsi khusus dalam pembuluh vena dan arteri yang memastikan bahwa organ-organ penting menerima lebih banyak aliran darah di saat bahaya, dan karena itu, molekul-molekul ini melebarkan pembuluh darah menuju jantung, otak, dan otot. Sel-sel yang mengelilingi pembuluh merespon epinefrin dan mengalirkan lebih banyak darah yang dibutuhkan jantung. Dengan cara ini, darah tambahan yang dibutuhkan oleh otak, otot, dan jantung dapat dipasok.
Secara garis besar, aksi yang ditimbulkan oleh epinefrin antara lain : menambah kadar gula darah (hiperglikemik), merangsang adenohipofisis untuk pelepasan ACTH, meningkatkan konsumsi oksigen dan laju metabolisme basal, menaikkan frekuensi (efek kronotropik positif) dan amplitudo kontraksi jantung, dilatasi pembuluh darah di otot rangka dan hati, keresahan, kecemasan, perasaan lelah, mengurangi kadar eosinofil, meningkatkan kecepatan tingkat metabolik yang independen terhadap hati.
MEKANISME PENGATURAN SEKRESI
Epinefrin disekresikan di bawah pengendalian sistem persarafan simpatis. Dapat meningkat dalan keadaan dimana individu tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Pengeluaran yang bertambah akan meningkatkan tekanan darah untuk melawan shok yang disebabkan oleh situasi darurat.
Sekresi hormon ini terjadi dengan meningkatan kerja sistem pernafasan yang mengakibatkan paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih banyak hingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh bagian tubuh mulai dari otot-otot hingga ke otak, dan peningkatan tersebut disebutkan beberapa riset bisa naik mencapai 300% melebihi batas normal. Akibatnya, bukan jantung saja yang dapat terasa berdebar, namun keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat dengan cepat. Aliran darah di kulit akan berkurang untuk dialihkan ke organ lain yang lebih penting sehingga orang-orang yang menghadapi stress biasanya gampang berkeringat, dimana dalam pengertian awam sering disebut keringat dingin. Sekresi ini menaikkan konsentrasi gula darah dengan menaikkan kecepatan glikogenolisis di dalam liver. Rangsangan sekresi epinefrin bisa berupa stres fisik atau emosional yang bersifat neurogenik.
Faktor yang berfungsi mengatur sekresi epinefrin, antara lain :
a. Faktor Saraf : Bagian medula mendapat pelayanan dari saraf otonom. Oleh karena itu sekresinya diatur oleh saraf otonom
b. Faktor kimia: Susunan bahan kimia atau hormon lain dalam aliran darah mempengaruhi sekresi hormon tertentu.
c. Komponen non hormonal
Epinefrin segera dilepaskan di dalam tubuh saat terjadi respon terkejut atau waspada.  Saat tubuh mengalami ketegangan yang parah, hipotalamus mengirimkan perintah ke kelenjar pituitari agar melepaskan ACTH (hormon adrenokortikotropis).  Di sisi lain, ACTH merangsang korteks adrenal, mendorong pembuatan kortikosteroid.  Kortikosteroid ini memastikan produksi glukosa dari molekul-molekul seperti protein, yang tak mengandung karbohidrat. Akibatnya, tubuh menerima tenaga tambahan dan tekanan pun berkurang.
Cairan ini mengirimkan lebih banyak gula dan darah ke otak, membuat  orang lebih siaga.  Tekanan darah dan detak jantungnya meningkat, membuatnya lebih waspada.  Ini hanyalah beberapa perubahan yang dihasilkan epinefrin pada tubuh seseorang.
Saat ada bahaya, reseptor di dalam tubuh ditekan, dan otak mengirimkan perintah secepat kilat ke kelenjar adrenal. Sel-sel di bagian dalam kelenjar adrenal lalu beralih ke keadaan siaga dan melepaskan hormon epinefrin untuk menghadapi keadaan darurat. Molekul-molekul epinefrin bercampur dengan darah dan menyebar ke seluruh bagian tubuh.
PATHOENDOKRINOLOGI
Berbagai gejala negatif pada aktivitas atau metabolisme organ tubuh karena pengaruh epinefrin bisa disebabkan karena 2 kemungkinan : sekresi yang berlebihan atau sebaliknya kekurangan sekresi. Masalah tersebut di antaranya :
a. Palpitasi
Merupakan gejala abnormal pada kesadaran detak jantung, bisa terlalu lambat, terlalu cepat, tidak beraturan, atau berada dalam frekuensi normal. Gejala ini disebabkan akibat sekresi epinefrin yang berlebihan. Tapi bisa juga karena konsumsi alkohol, kafein, kokain, amfetamin, atau obat-obatan yang lain, penyakit (seperti hipertiroidisme), atau efek panik.
b. Tachychardia
Perningkatan kecepatan aktivitas jantung. Kelainan endokrin seperti feokromositoma dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dan tachychardia bebas dari sistem syaraf.
Keadaan abnormal pada aktivitas elektrik jantung. Jantung bisa berdetak lebih cepat atau sebaliknya malah lebih lambat. Sama seperti palpitasi, kelainan ini dipicu oleh sekresi epinefrin yang berlebihan.
d. Sakit kepala
Kondisi sakit pada kepala, pada bagian leher ke atas. Umumnya disebabkan oleh ketegangan, migrain, ketegangan mata, dehidrasi, gula darah rendah dan sinusitis. Beberapa sakit kepala juga karena kondisi ancaman hidup seperti meningitis, ensephalatis, aneuisme cerebral, tekanan darah sangat tinggi, dan tumor otak.
ritme, pergerakan otot melibatkan pergerakan menuju dan dari (osilasi) salah satu bagian tubuh. Kebanyakan tremor terjadi pada tangan. Pada beberapa orang, tremor adalah gejala kelainan saraf yang lain. Umumnya disebabkan karena masalah pada bagian otak atau spinal cord yang mengontrol otot melalui tubuh atau area tertentu, seperti tangan. Penyebabnya adalah stres yang teralu banyak sehingga sekresi epinefrin menjadi tidak terkendali
Merupakan suatu kondisi medis dimana tekanan darah naik secara kronis. Hipertensi adalah karakter khas dari berbagai abnormalitas kortikal adrenal.
g. Edema paru-paru akut
Akumulasi fluida dalam paru-paru, disebabkan kegagalan jantung melepaskan fluida dari sirkulasi paru-paru, akibat disnormalitas sekresi epinefrin.
h. Alergi
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks  dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal.Alergi dikaitkan dengan peningkatan hormone epinefrin dan progesterone. Peningkatan hormon epinefrin menimbulkan manifestasi klinis perubahan suasana hati, dan kecemasan.

Fungsi Hormon Pada Wanita

Hormon adalah zat kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin yang mempunyai efek tertentu pada aktifitas organ-organ lain dalam tubuh. Hormon seks merupakan zat yang dikeluarkan oleh kelenjar seks dan kelenjar adrenalin langsung ke dalam aliran darah. Mereka (hormon) sebagian bertanggungjawab dalam perkembangan organ seks yang normal. Hormon juga yang memulai seseorang mengalami pubertas dan kemudian memainkan peran dalam pengaturan perilaku seksual.

Efek hormon secara umum pada tubuh manusia:
1. Perubahan Fisik yang ditandai dengan tumbuhnya rambut di daerah tertentu dan  bentuk tubuh yang khas pada pria dan wanita (payudara membesar, lekuk tubuh  feminin pada wanita dan bentuk tubuh maskulin pada pria).
2. Perubahan Psikologis: Perilaku feminin dan maskulin, sensivitas, mood/suasana hati meski ada faktor luar yang bisa menyebabkan hal ini.
3. Perubahan Sistem Reproduksi: Pematangan organ reproduksi, produksi organ  seksual (estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testis).

Pada wanita, dari sekian banyak hormon, yang memegang peranan penting adalah hormon estrogen – progesteron (khusus wanita) dan androgen. Dalam tubuh wanita, jumlah estrogen dan progesteron lebih dominan dibanding jumlah androgen (hormon pria), sebaliknya untuk pria, hormon andorgen (testosteron) lebih dominan dibanding hormon estrogen & progesteron.

Fungsi Estrogen (hormon seks wanita) yang umumnya diproduksi oleh rahim yakni :
1. merangsang pertumbuhan organ seks anak perempuan, seperti halnya payudara dan rambut kelamin, dikenal sebagai karakteristik seks sekunder.
2. Estrogen juga mengatur siklus menstruasi.
3. Menjaga kondisi dinding vagina dan elastisitasnya, serta dalam memproduksi cairan yang melembabkan vagina.
4. Mereka juga membantu untuk menjaga tekstur dan fungsi payudara wanita.
5. Mencegah gejala menopause seperti hot flushes (rasa panas didaerah tubuh bagian atas dan gangguan mood)
6. Mempertahankan fungsi otak.
7. Mengatur pola distribusi lemak di bawah kulit sehingga membentuk tubuh wanita yang  feminine
8. Meningkatkan pertumbuhan dan elastisitas serta sebagai pelumas sel jaringan (kulit, saluran kemih, vagina, dan pembuluh darah).
9. Estrogen juga mempengaruhi sirkulasi darah pada kulit, mempertahankan struktur normal kulit agar tetap lentur, menjaga kolagen kulit agar terpelihara dan kencang serta mampu  menahan air.
10. Produksi sel pigmen kulit
11. Pada pria, estrogen tidak memiliki fungsi yang diketahui. Namun, kadar yang terlalu tinggi dapat mengurangi selera seksual, menyebabkan kesulitan ereksi, pembesaran payudara, dan kehilangan rambut tubuh pada beberapa pria.

Adapun fungsi dari hormon Progesteron:
1. Mengatur siklus haid.
2. Mengembangkan jaringan payudara.
3. Menyiapkan rahim pada waktu kehamilan.
4. Melindungi wanita pasca menopause terhadap kanker endometrium.

Fungsi Hormon Androgen (hormon cowo) didalam tubuh cewe:
1. Merangsang dorongan seksual.
2. Merangsang pembentukan otot, tulang, kulit, organ seksual dan sel darah merah.
Ketidak seimbangan hormon pada manusia dapat berakibat berbagai masalah, misalnya; 1. siklus haid yang tidak teratur.
2. Nyeri mestruasi yang berlebihan setiap hari
3. Keputihan terus menerus lebih dari 1 minggu
4. Obesitas atau terlalu kurus
5. Rambut mudah rontok
6. Tumor jinak dan tumor ganas payudara
7. Tumor di organ reproduksi (kista, kanker rahim)
8. Gangguan kesuburan
9. Jerawat yang tumbuh di wajah.
10. Hormon pula yang kadang membuat kita senang atau malah sedih tanpa sebab. Semua orang pasti pernah mengalami hal ini, terutama saat pubertas.
11. Yang pasti, setiap hormon memiliki fungsi yang sangat spesifik pada masing-masing sel sasarannya. Tak heran, satu macam hormon bisa memiliki aksi yang berbeda-beda sesuai sel yang menerimanya saat dialirkan oleh darah.

Penyebab dari ketidakseimbangan hormon-hormon pada manusia sebagai berikut ;
1. Kebiasaan hidup pasif dan tidak banyak bergerak (sedentary life style)
2. gemar melahap banyak makanan yang sangat tidak menyehatkan, dengan sendirinya juga membuat hormon tidak seimbang. Akumulasi lemak dalam tubuh menyebabkan hormon tidak seimbang, sehingga membuat sulit untuk menyingkirkan semua ekstra lemak yang ada.
3. Hal yang sama juga berlaku bila Anda terlalu berlebih dalam bekerja dan kurang istirahat. Kimia tubuh kita menjadi terganggu.
4. Management stres kurang baik.
5. Wanita yang mengonsumsi pil KB tanpa pengawasan medis paling rentan mengalami ketidakseimbangan hormon. Ini karena tubuh dipaksa mengikuti siklus hormon yang sudah diresepkan, dan bukannya membiarkan tubuh mengaturnya secara alami.
6. Demikian halnya dengan kehamilan, beberapa ketidakseimbangan hormon bisa jadi muncul, termasuk hipertiroidisme dan diabetes gestasional.
7. Usia senja juga menjadi faktor terpenting kenapa hormon menjadi tidak seimbang, baik pada wanita maupun pria.
Banyak gejala tidak menyenangkan yang terkait dengan menopause akibat "pensiunnya" fungsi ovarium.

Apabila kamu mengalami hal-hal seperti diatas, kemungkinan terjadi ketidakseimbangan horon yang bisa bersifat sementara bahkan terus menerus. Penanganannya adalah menerapkan Gaya hidup seperti olahraga teratur, diet menu lengkap dan seimbang, serta pola tidur yang teratur dan cukup. Semua itu akan membantu menyelesaikan masalah ketidakseimbangan hormon yang nantinya akan sangat berperan dalam menentukan fisiologi tubuh, meskipun beberapa orang secara genetik punya potensi mengalami ketidakseimbangan hormonal. Namun, jika  keluhan–keluhan tadi tidak berkurang selama lebih dari 3 bulan secara terus menerus sedangkan kamu sudah memperbaiki gaya hidup yang lebih baik, itu pertanda untuk kamu segera periksakan ke dokter.

Senin, 07 Maret 2011

SISTEM ENDOKRIN MANUSIA

Sistem Endokrin Dan Kerja Hormon Pada Tubuh Manusia.

Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin.


Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah.
Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. 
KELENJAR ENDOKRIN
Organ utama dari sistem endokrin adalah:
# Hipotalamus
# Kelenjar hipofisa
# Kelenjar tiroid
# Kelenjar paratiroid
# Pulau-pulau pankreas
# Kelenjar adrenal
# Buah zakar
# Indung telur.
Selama kehamilan, plasenta juga bertindak sebagai suatu kelenjar endokrin.
Hipotalamus melepaskan sejumlah hormon yang merangsang hipofisa; beberapa diantaranya memicu pelepasan hormon hipofisa dan yanglainnya menekan pelepasan hormon hipofisa.
Kelenjar hipofisa kadang disebut kelenjar penguasa karena hipofisa mengkoordinasikan berbagai fungsi dari kelenjar endokrin lainnya.
Beberapa hormon hipofisa memiliki efek langsung, beberapa lainnya secara sederhana mengendalikan kecepatan pelepasan hormon oleh organ lainnya.
Hipofisa mengendalikan kecepatan pelepasan hormonnya sendiri melalui mekanisme umpan balik, dimana kadar hormon endokrin lainnya dalam darah memberikan sinyal kepada hipofisa untuk memperlambat atau mempercepat pelepasan hormonnya.
Tidak semua kelenjar endokrin berada dibawah kendali hipofisa; beberapa diantaranya memberikan respon, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap konsentrasi zat-zat di dalam darah:
# Sel-sel penghasil insulin pada pankreas memberikan respon terhadap gula dan asam lemak
# Sel-sel paratiroid memberikan respon terhadap kalsium dan fosfat
# Medulla adrenal (bagian dari kelenjar adrenal) memberikan respon terhadap perangsangan langsung dari sistem saraf parasimpatis.
Banyak organ yang melepaskan hormon atau zat yang mirip hormon, tetapi biasanya tidak disebut sebagai bagian dari sistem endokrin.
Beberapa organ ini menghasilkan zat-zat yang hanya beraksi di tempat pelepasannya, sedangkan yang lainnya tidak melepaskan produknya ke dalam aliran darah.
Contohnya, otak menghasilkan berbagai hormon yang efeknya terutama terbatas pada sistem saraf.
Sistem Endokrin
HORMON
Hormon adalah zat yang dilepaskan ke dalam aliran darah dari suatu kelenjar atau organ, yang mempengaruhi kegiatan di dalam sel-sel. Sebagian besar hormon merupakan protein yang terdiri dari rantai asam amino dengan panjang yang berbeda-beda. Sisanya merupakan steroid, yaitu zat lemak yang merupakan derivat dari kolesterol. Hormon dalam jumlah yang sangat kecil bisa memicu respon tubuh yang sangat luas.
Hormon terikat kepada reseptor di permukaan sel atau di dalam sel. Ikatan antara hormon dan reseptor akan mempercepat, memperlambat atau merubah fungsi sel. Pada akhirnya hormon mengendalikan fungsi dari organ secara keseluruhan:
# Hormon mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan, perkembangbiakan dan ciri-ciri seksual
# Hormon mempengaruhi cara tubuh dalam menggunakan dan menyimpan energi
# Hormon juga mengendalikan volume cairan dan kadar air dan garam di dalam darah.
Beberapa hormon hanya mempengaruhi 1 atau 2 organ, sedangkan hormon yang lainnya mempengaruhi seluruh tubuh.
Misalnya, TSH dihasilkan oleh kelenjar hipofisa dan hanya mempengaruhi kelenjar tiroid. Sedangkan hormon tiroid dihasilkan oleh kelenjar tiroid, tetapi hormon ini mempengaruhi sel-sel di seluruh tubuh. Insulin dihasilkan oleh sel-sel pulau pankreas dan mempengaruhi metabolisme gula, protein serta lemak di seluruh tubuh.

PENGENDALIAN ENDOKRIN
Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di dalam darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh. Untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas-batas yang tepat. Tubuh perlu merasakan dari waktu ke waktu apakah diperlukan lebih banyak atau lebih sedikit hormon.
Hipotalamus dan kelenjar hipofisa melepaskan hormonnya jika mereka merasakan bahwa kadar hormon lainnya yang mereka kontrol terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Hormon hipofisa lalu masuk ke dalam aliran darah untuk merangsang aktivitas di kelenjar target. Jika kadar hormon kelenjar target dalam darah mencukupi, maka hipotalamus dan kelenjar hipofisa mengetahui bahwa tidak diperlukan perangsangan lagi dan mereka berhenti melepaskan hormon.
Sistem umpan balik ini mengatur semua kelenjar yang berada dibawah kendali hipofisa.
Hormon tertentu yang berada dibawah kendali hipofisa memiliki fungsi yang memiliki jadwal tertentu. Misalnya, suatu siklus menstruasi wanita melibatkan peningkatan sekresi LH dan FSH oleh kelenjar hipofisa setiap bulannya. Hormon estrogen dan progesteron pada indung telur juga kadarnya mengalami turun-naik setiap bulannya.
Mekanisme pasti dari pengendalian oleh hipotalamus dan hipofisa terhadap bioritmik ini masih belum dapat dimengerti. Tetapi jelas terlihat bahwa organ memberikan respon terhadap semacam jam biologis.
Faktor-faktor lainnya juga merangsang pembentukan hormon.
Prolaktin (hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar hipofisa) menyebabkan kelenjar susu di payudara menghasilkan susu. Isapan bayi pada puting susu merangsang hipofisa untuk menghasilkan lebih banyak prolaktin. Isapan bayi juga meningkatkan pelepasan oksitosin yang menyebabkan mengkerutnya saluran susu sehingga susu bisa dialirkan ke mulut bayi.
Kelenjar semacam pulau pakreas dan kelenjar paratiroid, tidak berada dibawah kendali hipofisa. Mereka memiliki sistem sendiri untuk merasakan apakah tubuh memerlukan lebih banyak atau lebih sedikit hormon.
Misalnya kadar insulin meningkat segera setelah makan karena tubuh harus mengolah gula dari makanan. Jika kadar insulin terlalu tinggi, kadar gula darah akan turun sampai sangat rendah.