PARKINSON


ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON

Abstrak
Manajemen pasien dengan penyakit Parkinson tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbul komplikasi gejala psikosis, yang disertai dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut. 
Kata kunci : Penyakit Parkinson, komplikasi neuropsikiatri, manajemen

Pendahuluan
Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dideskripsikan secara lengkap gejalanya oleh seorang dokter dan geologis dari Inggris yaitu James Parkinson sekitar 2 abad yang lalu (1817) melalui monografnya An Essay on the Shaking Palsy. Atas jasa dari Arvid Carlsson sebagai pemenang Nobel Prize, saat ini kita mengetahui lebih dalam lagi mengenai prinsip kelainan penyakit Parkinson yaitu hilangnya fungsi dopamine (DA) dan pengobatan menggunakan levodopa sebagai metoda pengobatan yang dipakai, setidaknya saat ini kita telah mencapai suatu tahap pengertian dimana kelainan yang terjadi dan bagaimana cara memperbaikinya.1
Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegenerative progresif yang disebabkan karena proses degenerasi spesifik neuron-neuron dopaminergik ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (badan lewy). Penyakit Parkinson adalah tipe tersering dari suatu keadaan Parkinsonism, lebih kurang 80% dari seluruh kasus. Selain itu penyakit Parkinson juga merupakan penyakit neurodegenerative tersering kedua setelah demensia Alzheimer.2,3
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit Parkinson tidak diketahui. Pada umumnya PD muncul pada usia 40-70 tahun, rata-rata diatas usia 55 tahun, lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2. Suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit Parkinson terjadi pada ras Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa (0,98 % hingga 1,94%); menengah terdapat pada ras Asia (0,018 %) dan prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika (0,01 %). 3,4
PD terdapat 4 manifestasi  gejala utama motorik : tremor saat istirahat, rigiditas, bradikinesia (berkurang atau lambatnya suatu gerakan), dan instabilitas postural.1,5 Selain itu pada PD juga terdapat gejala non motorik yang termasuk didalamnya adalah gangguan sensoris dan otonom serta gangguan neurobehavioral (neuropsikiatri) seperti depresi, ansietas, dan psikosis yang akan kita bahas lebih lanjut di dalam tulisan ini.5 

Gejala Klinis Penyakit Parkinsons : Hubungannya terhadap Psikopatologi

Gejala Motorik
            Penyakit Parkinson ditegakkan diagnosis secara pasti melalui ditemukannya : degenerasi dan hilangnya sel saraf berpigmen di substansia nigra (pars compacta) dan badan inklusi (Badan Lewi) intraneuronal di substansia nigra. Penyakit ini dapat ditegakkan secara klinis yang timbul berupa trias motorik : 1) tremor saat istirahat, 2) rigiditas, dan 3) bradikinesia/akinesia ( berkurang atau lambatnya suatu gerakan). Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan kombinasi gejala spesifik yang timbul, namun terdapat heterogenitas pada setiap individu dan tidak ada yang spesifik. Salah satu klasifikasi yang dipakai untuk penegakkan diagnosis PD secara klinis yaitu melalui kriteria dari Hughes 5,6:
l  Possible
Terdapat salah satu dari gejala utama : resting tremor, rigiditas, bradikinesia, kegagalan refleks postural
l  Probable
Kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural) atau satu dari tiga gejala pertama yang tidak simetris (dua dari empat tanda motorik)
l  Definite
Kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda kardinal) dan responsif terhadap pengobatan levodopa.

            Lebih jauh lagi gejala klinis tidak terjadi pada awal penyakit Parkinson dan dapat terjadi kesalahan diagnosis dengan menganggapnya sebagai suatu fenomena depresi. Sebagai salah satu contoh kasus seorang pasien di poliklinik, teman-temannya menyatakan kepada dokter bahwa sekitar 10 tahun sebelum diagnosis PD ditegakkan, pasien ini dikatakan tidak pernah tersenyum setiap di foto.
Pada suatu seri penelitian klinis paling akhir menunjukkan bahwa gejala klasik tremor pada pasien PD terjadi sekitar 70 % pada awal penyakit, dan sekitar 5 % nya datang dengan depresi atau nervousness. Pada penelitian yang sama, terdapat subgroup penelitian mengalami gejala somatik yang bervariasi, yaitu terdapatnya muka topeng atau kelelahan, yang dapat disalah persepsikan sebagai gejala primer depresi dibanding sebagai PD. 5,6
            Gejala-gejala yang terjadi pada pasien berhubungan dengan trias motorik pada PD, beberapa diantaranya bertumpang tindih dengan terjadinya suatu gangguan mood. PD dapat dianggap sebagai suatu kelainan primer depresi, dan terjadinya depresi menjadi tidak dikenali pada pasien PD. Dan setelah dua keadaan klinis tersebut terdeteksi akan timbul kesulitan dalam menentukan manakah yang menjadi fenomena klinis motor primer atau patologi primer psikiatrik. (lihat table 1). Sebagai contoh, bradikinesia juga dikenal sebagai komponen didalam depresi, dan biasa dideskripsikan sebagai retardasi psikomotor. 5,6
            Gejala tremor yang terjadi pada sekitar 80 % pasien dengan penyakit Parkinson, dapat menjadi suatu komponen yang signifikan pada gejala ansietas. Beberapa pasien juga melaporkan adanya tremor anggota dalam tubuh yang juga dapat berhubungan dengan ansietas. Tremor yang timbul pada awal dari PD menjadi sulit dikenali sebagai suatu gejala PD bila tidak disertai gejala motorik lainnya. Rigiditas ditandai adanya peningkatan tonus saat pergerakan pasif, dapat juga bermanifestasi dalam bentuk seperti keram otot ataupun nyeri. Adanya rigiditas meimbulkan suatu kelainan dalam berjalan dan mengganggu postur tubuh, refleks posisi tubuh yang menghilang, gangguan keseimbangan bahkan kejadian jatuh pada pasien PD sering terjadi seiring dengan progresivitas penyakit. Gejala lainnya seperti disartri, gangguan visual dan genitourinarius, gangguan tidur, kulit berkeringat dan berminyak, edema, konstipasi, parestesia, kelelahan dan penurunan rasa penciuman juga dapat terjadi pada keadaan PD tingkat lanjut. Fenomena-fenomena tersebut dapat terjadi sebagai gangguan mood dan terapi antidepresan. 5,6

TABEL 1. Gejala Umum pada Penyakit Parkinson dan Depresi Mayor

Penyakit Parkinson
Depresi Mayor
Motor
Bradikinesia
Psikomotor

Postur terhenti
+/- Postur terhenti

Muka topeng
Afek terbatas/depresi
Kognitif
Gangguan Memori
Gangguan Memori

Gangguan konsentrasi
Gangguan konsentrasi

Indecisiveness
Indecisiveness
Vegetatif
Energi berkurang
Energi berkurang

Fatigue
Fatigue

Gangguan tidur
Gangguan tidur

Nafsu makan berubah
Nafsu makan berubah
Somatik
Gangguan fisik
Gangguan fisik
  
Gangguan Kognitif
            Dalam perkembangan penyakitnya, PD dapat menyebabkan gangguan kognitif yang bervariasi tingkat keparahannya.  Penyebabnya adalah multifaktorial, menyangkut didalam sistem dopamin di subkortikal – frontal dan sistem ekstrastriatum.Gangguan kognitif (disfungsi eksekutif, visuospasial, memori, dan atensi) pada pasien PD dapat menimbulkan hendaya pada pasien dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari ataupun kegiatan rumah tangga serta dapat membuat pasien menjadi tertekan. Terdapatnya gangguan mood yang terjadi, menyertai, atau mengikuti perubahan kognitif dapat mengganggu dalam penilaian gangguan fungsi kognitif yang terjadi dan gangguan yang terjadi seakan lebih berat daripada kenyataannya. Sekitar 25 % pasien berkembang menjadi demensia tipe Alzheimer dengan terdapatnya afasia, apraksia, dan defisit memori. Sementara depresi dapat terjadi bersamaan pada pasien PD dengan demensia, keluarga dan klinisi yang melihat terjadinya kurangnya sosialisasi pada pasien menganggapnya sebagai suatu kelainan depresi dibandingkan suatu keadaan hendaya fungsi kognitif sehingga pasien diberikan obat-obatan antidepresan.
Pengenalan gejala demensia pada PD sangatlah penting bagi klinisi karena pada pasien-pasien ini sangat rentan dalam pemberian obat-obatan psikoaktif yang dapat mengakibatkan terjadinya delirium, dan lebih jauh lagi sebagai penyebab nursing home pada pasien PD.6

Terapi Komplikasi Motorik dan yang berhubungan
            Kebanyakan medikasi antiparkinson dapat mengurangi gejala-gejala motorik melalui peningkatan availabilitas dopamine, dimana saat ini sedang berkembang terapi-terapi yang baru. Walaupun begitu dengan medikasi obat-obatan tersebut dapat menyebabkan komplikasi seperti delirium, perubahan mood, dan psikosis. Suatu prekursor dopamine yaitu levodopa merupakan terapi yang efektif untuk mengkontrol gejala motorik pada PD. Pemberian levodopa ini biasanya dikombinasikan dengan pemberian preparat carbidopa, yang merupakan enzim penghambat metabolisme dopamine di perifer. Bromokriptin, pergolide, dan agen-agen yang baru seperti pramipexole dan ropinirole merupakan agonis reseptor dopamine, yang cara kerjanya meningkatan aktifitas dopamine paska sinap. Deprenyl atau selegeline, suatu penghambat oxidase-B monoamine, dan talcapone, suatu penghambat transferase katecolamin, bekerja menghambat metabolisme dopamine dan meningkatkan sinaps dopamine. Amantadin dan agen antikolinergik seperti trihexiphenidyl dan benztropine juga digunakan untuk mengkontrol gejala motorik.6
            Penggunaan obat-obatan tersebut jangka panjang dan kombinasi progresifitas PD lama kelamaan akan mempengaruhi stabilitas mood. Selain itu perkembangan penyakit menyebabkan terjadinya fluktuasi periode ‘on’ dan ‘off’ motorik pasien yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan dosis yang lebih tinggi lagi untuk mengatasinya.6
            Fluktuatif gejala motorik yang terjadi pengaruhnya sangat bervariasi pada pasien PD, tergantung kemampuan pasien dalam mentoleransi fluktuasi motorik yang terjadi. Pada beberapa pasien fluktuatif motorik ini menyebabkan suatu keadaan distress, disabilitas, disfigur atau memalukan, berbeda-beda antara tiap pasien. Pandangan pasien terhadap fluktuasi motorik yang terjadi ini dipengaruhi oleh keadaan jiwa dan kemampuan kognitif seseorang. Emosi dapat mencetuskan suatu keadaan fluktuasi motorik, walaupun pada beberapa pasien fluktuasi terjadi tanpa suatu pencetus.6
            Suatu reaksi psikologis dapat berpengaruh terhadap fluktuasi motorik, perubahan mood berhubungan erat dengan terjadinya fluktuasi motorik, diperkirakan mekanisme utama dari dopaminergik. Biasanya, pasien akan mengalami perubahan mood menjadi depresi atau ansietas pada periode off dan menjadi neutral atau mood meningkat pada periode on. Pada laporan lainnya mendeskripsikan suatu keadaan iritabel, apatis, halusinasi, psikosis, berteriak-teriak, dan tumpulnya kognisi saat periode off dan hiperseksualitas, hipomanik selama periode on. Manajemen pengobatan gangguan mood yang berhubungan dengan fluktuasi motorik pada pasien PD sangat sulit. Manajemen pengobatan yang diberikan harus memperhatikan rejimen antiparkinson yang diberikan, dan penentuan adanya gangguan mood.6
            Terapi operatif pada pasien PD telah dimulai lebih kurang 30 tahun yang lalu, dan sangat membantu dalam mengontrol gejala yang timbul serta komplikasi yang terjadi. Palidotomi merupakan terapi pilihan pada pasien PD dengan diskinesia dan fluktuasi motorik. Talamotomi dikerjakan untuk mengatasi tremor pada pasien PD dan kondisi esensial tremor lainnya atau multiple sclerosis. Beberapa analisis palidotomi dapat mengurangi kejadian ansietas dan depresi tetapi tidak berhubungan dengan perbaikan motorik. Terapi mutakhir lainnya yang tidak terlalu invasive yaitu deep brain stimulation (DBS), semacam pacemaker  yang ditanamkan pada otak yang memberi impuls listrik ke thalamus atau globus palidus yang dapat diatur kebutuhannya dalam mengatasi tremor yang terjadi.6

Komplikasi Psikiatrik  
            Selama bertahun-tahun, diperkirakan fenomena psikiatrik yang terjadi pada PD, seperti perubahan afek, dikatakan berhubungan dengan berkurangnya dopamine dan gangguan motorik. Setelah ditemukannya penggunaan terapi levodopa pada tahun 1960, hampir dua pertiga pasien PD mengalami gangguan afektif yang persisten, walaupun telah diberikan terapi antiparkinson, dan perubahan mood yang terjadi sulit diperbaiki dengan terapi antidepresan. Jadi dapat dikatakan penyebab utama gangguan psikiatrik pada PD disebabkan oleh kelainan neurodegeneratif, selain itu reaksi psikologis terhadap keadaan klinis yang terjadi harus pula dipertimbangkan. Perkembangan PD menjadi suatu tahap yang lebih lanjut didasari oleh kehilangan saraf-saraf dopaminergik di substansia nigra dan efek sekunder pada proyeksi pada sistem yang menyangkut nucleus kaudatus, putamen (striatum), frontal dan bagian dari girus cinguli. Berdasarkan hal tersebut, bervariasinya gejala motorik dan non motorik pada PD dan hubungan diantara gejala tersebut merupakan hasil dari terjadinya disfungsi sirkuit kortiko-basal ganglia- thalamus.6
            Selain hilangnya neuron dopaminergik pada PD juga terjadi degenerasi pada neuron-neuron noradrenergik di lokus seruleus, neuron serotonergik di bagian dorsal dari raphe, dan saraf kolinergik di nucleus basalis dan sistem proyeksinya.Tingkat kehilangan saraf pada saraf-saraf tersebut diperkirakan menjadi penyebab dari heterogennya gejala motorik, kognitif, dan psikiatrik yang terjadi pada pasien PD. Hal ini telah dibuktikan oleh Paulus dan Jellinger yang menunjukkan terjadinya perbedaan pola neuropatologis yang terjadi pada pasien PD yang rigid-akinetik dibandingkan dengan PD dengan dominant tremor.
Pada penelitian serial oleh peneliti yang sama menunjukkan pada pasien PD dengan demensia terjadi lesi yang sama dengan tipe Alzheimer dan kehilangan sebagian saraf di daerah medial dari substansia nigra, sedangkan pada pasien dengan depresi terjadi kehilangan saraf yang besar pada raphe bagian dorsal. Walaupun begitu pada pasien dengan psikosis tidak terjadi kelainan neuropatologis yang spesifik.6
            Hubungan antara fenomena motorik, kognitif, dan psikiatrik pada pasien dengan PD merupakan tantangan bagi para klinisi untuk melakukan penilaian psikopatologi pada pasien. Sulitnya penilaian psikopatologi pada PD juga terjadi akibat berfluktuasinya efek pengobatan psikoaktif ditambah dengan perkembangan progresif dari penyakit. Oleh karenanya para klinisi harus lebih melakukan anamnesa yang lebih dalam pasien mengenai kondisi psikiatrik pasien sebelumnya, riwayat keadaan keluarga, temperamen, mekanisme koping , keadaan sosial dan kejadian penting yang terjadi dalam hidupnya.

Gangguan Mood 
Pasien dengan PD idiopatik sekitar 90 % nya mengalami komplikasi psikiatrik, termasuk didalamnya gangguan mood mayor (depresi mayor, distimia, atau gangguan bipolar); gangguan penyesuaian; gejala ansietas disabling, perubahan mood yang dicetuskan oleh obat, rasa sedih patologis, demensia; keadaan apatis; atau delirium. Gangguan mood yang berfluktuasi (perubahan mood dari mood depresi menjadi hipomani yang dapat terjadi beberapa kali sehari) diperkirakan terjadi pada 7 % hingga 21 % pasien PD. Perubahan mood ini diasanya terjadi mengikuti fluktuasi motorik, pada saat pasien mengalami mood yang rendah (bercampur dengan keadaan depresi-ansietas) terjadi pada saat periode off dan mood yang normal atau meningkat (euphoria dan hipomanik) terjadi pada periode on. Namun, fluktuasi mood ini juga dapat terjadi tanpa disertai fluktuasi motorik pada beberapa pasien. 6,7

Depresi
Depresi mayor terjadi hampir 40 % pada pasien dengan PD, angka kejadian tersebut bervariasi dari tiap studi yang ada yaitu dari 4% hingga 70 %. Depresi mayor terjadi pada hampir setengahnya pasien dengan depresi, sedangkan lainnya disertai gangguan penyesuaian, distimia atau kelainan bipolar. Intensitas gejala depresi mayor secara umum terjadi dari sedang hingga berat dan sering bersamaan dengan gejala ansietas. Secara umum, studi yang ada tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara onset umur dan lamanya PD, riwayat anggota keluarga dengan gangguan mood, atau riwayat pasien dengan episode depresi sebelumnya.6,7
Isu yang berkembang saat ini adalah apakah sindrom depresi mayor PD merupakan reaksi dari disabilitas motorik atau apakah sindrom yang terjadi merupakan perkembangan intrinsik proses PD. Dari studi yang ada belum ada yang dapat menjelaskan secara jelas mengenai hubungan keadaan tersebut.7,8
Terlihat dengan jelas hubungan antara mood dan fenomena motorik  sangatlah kompleks. Menariknya adalah perbaikan motorik dengan obat-obatan tidak diikuti dengan perbaikan mood, tetapi keberhasilan pengobatan depresi berhubungan dengan perbaikan fungsi motorik. Dalam beberapa studi menunjukkan hubungan antara perbaikan dari suatu episode depresi dan gangguan kognitif setelah mendapatkan pengobatan gangguan mood. 6,7,8
Beberapa studi menunjukkan implikasi serotonin terhadap terjadinya depresi pada PD. Studi neurokimia menunjukkan turunnya jumlah metabolit serotonin (5-HIAA) baik di perifer dan sentral, yang terjadi perbaikan gejala depresi dengan terapi serotonergik, dan penurunan pengikatan platelet-imipramin pada pasien PD dengan depresi. Pada studi neuroimaging pada pasien PD dengan depresi menunjukkan hipometabolisme relatif di daerah kaudatus dan orbito-frontal inferior dan bagian medial lobus frontal dibandingkan pasien PD tanpa depresi dan subyek kontrol.9

Apatis   
            Gejala apatis dapat timbul pada PD dengan gejala depresi mayor. Terdapat dua studi yang menelaah apatis yang terjadi pada PD. Pada studi sebelumnya, depresi dan apatis dapat timbul bersamaan pada sekitar 30 % sample, dan 12 % hingga 16 % pasien hanya mengalami apatis saja. Dibandingkan dengan pasien PD yang eutimik, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam usia, jenis kelamin, lamanya menderita PD, atau beratnya gangguan motorik tetapi pada pasien dengan sindoma apatis terjadi relative pada usia lanjut dibandingkan dengan PD yang disertai depresi.6,7
            Keadaan apatis merupakan analogi dari aspek PD itu sendiri, seperti keadaan bradiphrenia dan bradikinesia, diperkirakan beberapa gejala kognitif, behavioral, dan motorik pada PD saling berhubungan patofisiologinya. Sebagai buktinya yaitu keadaan bradiphrenia berhubungan dengan hilangnya neuron pada lokus seruleus yang berimplikasi terjadinya disfungsi noradrenergik.6,7

Emosionalisme
            Pada beberapa studi mendapatkan suatu keadaan meningkatnya frekuensi menangis atau labilnya emosi pada pasien PD disbanding pada subyek kontrol. Keadaan emosi yang timbul pada PD merupakan suatu keadaan sentimental yang tinggi dan berlebihan yang tidak sesuai, tidak dimotivasi dan tidak disadari. Biasanya berlangsung singkat, tetapi sering mereka sampai timbul air mata. Keadaan menangis yang berlebihan pada PD dapat terjadi sebagai tanda depresi mayor, inkontinensia emosional (dikenal sebagai tertawa atau menangis patologis), delirium, atau dengan penggunaan benzodiazepine. Pasien sering mendeskripsikan keadaan emosional yang berlebihan dan tidak terkontrol biasanya dicetuskan melalui berbagai stimulus positif ataupun negatif, sebagai contoh adegan di televisi yang membuat sedih, hal-hal pengkhawatiran tentang masa depan, atau melihat orang sedang berbuat kebaikan. Pada beberapa pasien, emosionalitas ini membuat suatu keadaan yang sangat memalukan secara sosial, yang menimbulkan fobia bagi pasien. Dari segi pasien sendiri dan atau keluarganya menyimpulkan bahwa menangis ini berarti mereka “mengalami depresi” dan hal ini harus disadari keadaan ini sering terjadi pada PD, bahkan tanpa disertai sindroma depresi sekalipun. Pemeriksaan yang seksama mengenai keadaan emosional pasien PD menunjukkan hampir 40 % pasien mengalami peningkatan keadaan menangis sejak onset PD, dan 11 % nya keadaan emosionalnya lebih pervasif. Tidak ada hubungan yang pasti antara emosionalitas dan gangguan kognitif atau sindroma depresi mayor.6

Ansietas  
            Keadaan ansietas merupakan masalah umum terjadi pada pasien PD, tetapi sering kurang diperhatikan mengenai fenomena ini. Ansietas ini dapat terjadi ‘berdiri sendiri’ atau merupakan suatu gejala depresi, secara klinis keadaan ansietas terjadi pada sekitar 40 % pasien PD. Secara umum gejala yang timbul dapat berupa kelainan umum ansietas, fobia sosial, dan kelainan panik, yang prevalensinya rata-rata sekitar 25 % pada beberapa studi. Sindroma tersebut dapat terjadi sebelum atau menyertai sindroma depresi mayor, dan dapat terjadi setelah keadaan depresi diterapi. Disamping itu semua, kita sebagai klinisi haruslah memilah apakah keadaan ansietas yang terjadi akibat respon psikologis yang masih bias ditolerir karena akibat gejala motorik yang timbul atau apakah suatu keadaan yang lebih personal.Sindroma ini juga dapat terjadi secara independent akibat kadar levodopa yang berfluktuasi. Disfungsi otonom yang merupakan komplikasi yang umum pada pasien PD disamping suatu keadaan status psikiatrik, juga dapat berhubungan dengan keadaan ansietas atau depresi. Berdasarkan hal tersebut, keluhan somatik (flusing, dizziness, sering berkemih, atau perubahan dari denyut jantung) harus dievaluasi lebih hati-hati karena dapat terjadi kesalahan diagnosis (dan salah terapi), bila hal tersebut mewakili dari sindroma afektif.6,7
            Sindroma ansietas pada PD tampaknya berhubungan dengan penyakit otak yang mendasari, dengan implikasi disfungsi noradrenergik. Pada beberapa studi menunjukkan sindroma ansietas mendahului onset dari gejala motorik, tetapi juga dapat timbul setelahnya. Studi lain juga memaparkan mengenai hubungan antara gejala panik dan fluktuasi pengobatan antiparkinson dan gejala motorik, tetapi hubungan yang jelas antara ansietas dan tingkat disabilitas, gejala motorik, dan pengobatan dengan dopaminergik belum dipublikasikan.Walaupun begitu, sindroma ansietas pada PD dapat mewakili perbedaan lokasi patologi pada PD. Pada analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa kemampuan kognitif pada pasien PD dengan keadaan ansietas relatif lebih baik dibanding tanpa keadaan ansietas, terutama mengenai pemeriksaan yang berhubungan dengan proses kognitif lobus frontal.6,7,8

Psikosis
            Halusinasi dan delusi terjadi pada 40 % pasien PD dan merupakan penyebab utama penempatan pasien di tempat perawatan. Gejala halusinasi yang sering timbul berupa halusinasi visual pada sekitar 15 % hingga 40 % pada suatu studi cross-sectionally. Prevalensi pada suatu studi komunitas kejadian halusinasi sekitar 9,8% dengan insight yang baik dan 6% mengalami halusinasi berat atau delusi. Delusi sangat jarang terjadi biasanya terjadi disertai dengan halusinasi dengan prevalensi yang bervariasi yaitu sekitar 3 % hingga 30%. Halusinasi auditorik dilaporkan terjadi pada 8 % hingga 13 % pasien dan dapat tidak terdiagnosis. 6,7
Psikosis yang timbul berhubungan dengan pengobatan dopaminergik, sekitar 20 % pada pasien PD. Psikosis dapat timbul secara spontan atau berhubungan dengan gangguan kognitif, fluktuasi periode “on” dan “off”, gangguan mood, pengobatan psikoaktif, dan atau keadaan delirium. Gejala psikosis yang timbul secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama terdiri dari gejala halusinasi visual berupa gambaran ‘binatang’ atau ‘orang’ yang terjadi dengan rasa sensasi yang jelas dan disertai insight. Tipe yang kedua halusinasi atau delusi yang terjadi menjadi persisten tetapi dengan hilangnya insight. Pada grup yang ketiga, halusinasi atau delusi terjadi pada keadaan delirium. 6,7,9
            Halusinasi dan delusi juga terjadi sebagai gejala dari depresif mayor atau gejala manik, hal ini merupakan diagnosis yang harus diperhatikan pada saat pasien dalam keadaan agitasi. Pada suatu studi pada populasi tentang psikosis menunjukkan adanya hubungan antara gejala psikotik dan umur, tahap perkembangan, dan subgrup diagnostik dari PD, beratnya depresi, dan gangguan kognitif, dimana pengobatan antiparkinson tidak dibedakan diantara pasien PD dengan atau tanpa psikosis. Penemuan ini menunjukkan patologi pada otak yang dipengaruhi sangatlah luas pada pasien dengan keadaan psikosis dan menyangkal adanya pendapat mengenai perkembangan psikosis akibat pengobatan antiparkinson. Adanya defisit kolinergik pada psikosis pasien PD telah menjadi wacana.6,7,9
            Patofisiologi psikosis pada PD tidak diketahui secara pasti (table 2). Laporan terjadinya psikosis pada pasien PD sering timbul pada penggunaan terapi levodopa.4 Semua agen, termasuk agonis dopamine, amantadin, dan levodopa dapat menyebabkan psikosis dan mengalami perbaikan dengan penurunan dosis. 4 Hal inilah yang menjadi pemikiran bahwa psikosis yang terjadi akibat sekunder hipersensitifitas reseptor dopamine di regio mesokortikal dan mesolimbik yang diakibatkan stimulasi berlebihan dari pengobatan dopaminergik. Teori lain mengatakan, adanya ketidakseimbangan antara sistem dopaminergik dan serotonergik akibat pengobatan dengan dopaminergik yang menurunkan kadar serotonin atau stimulasi yang berlebihan dari reseptor serotonergik karena terapi dopaminergik. Teori lainnya yaitu psikosis yang berkaitan dengan defisiensi kolinergik yang biasanya terjadi pada pasien PD dengan gangguan kognitif, dikatakan defisiensi kolinergik memegang peranan terjadinya psikosis.6,7,9

Tabel 2
Faktor Resiko terjadinya Psikosis pada PD
Faktor Primer
Terapi Dopaminergik
Dopamin agonis (pergolid, bromokriptin, rapinirole, pramipexole), L-dopa Catechol-O-methyltransferase inhibitor (entacapone, tolcapone)
Faktor Tambahan
Pengobatan Psikoaktif
  • Agen antiparkinson : antikolinergik, selegeline, amantadin
  • Agen lain : benzodiazepine, antikolinergik lain, antihistamin, steroid, opiate
Kelainan Medis lain
Kondisi sistemik, dehidrasi, nyero, trauma intracranial yang tidak terdeteksi atau fraktur, infeksi akut atau subakut (ISK, pneumonia, konstipasi, selulitis)
Kondisi Komorbiditas Neuropsikiatrik
Gejala depresi, sindroma depresi, demensia, penyalahgunaan L-dopa
Gangguan tidur

Terapi
            Suatu petunjuk terapi dari data-data empiris dalam menangani terapi kondisi psikiatrik pada pasien PD sangat sedikit; data yang ada berupa laporan uji klinis terbuka atau studi deskriptif. Pada suatu meta-analisis terakhir hanya terdapat 12 uji klinis terapi depresi pada pasien PD namun kualitas literature ini sangatlah lemah. Lebih jauh lagi, diantara uji klinis tersebut tidak menggunakan obat-obatan antidepresi yang baru dari satu dekade terakhir. Hal yang sama terjadi pada terapi psikosis pada pasien PD, kecuali pada suatu studi yang baru, dengan sample besar, multisenter, buta ganda, dengan kontrol plasebo yang menunjukkan efikasi dengan menggunakan clozapin dosis kecil (6,25 mg – 50 mg/day). Mengenai terapi behavioral atau obat-obatan pada keadaan ansietas, emosional, atau apatis pada pasien PD belum dilakukan studi lebih lanjut.5,6,7
            Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian obat-obatan psikotropik pada pasien PD untuk mengatasi gejala-gejala psikiatrik adalah penyakit otak yang mendasari dan usia pasien yang sebagian besar adalah usia lanjut yang mudah timbul efek samping. Selain itu pengobatan psikiatrik meningkatkan risiko gejala motorik dan gejala gangguan kognitif. Pada setiap pasien, langkah pertama yang perlu dilakukan termasuk memperhatikan obat antiparkinson dan terapi medis yang lain, eliminasi polifarmasi yang tidak penting, dan meminimalisasi fluktuasi pengobatan dan efek samping obat-interaksi obat.5,6,7  
            Berdasarkan data ilmiah yang terbatas mengenai penggunaan agen antidepresan pada pasien PD, pengobatan yang diberikan biasanya berdasarkan efek samping yang akan muncul. Efikasi parsial ditunjukkan pada pemberian antidepresan trisiklik seperti nortriptilin, yang menghambat reuptake serotonin-norepinephrin, dan bupropion, yang menghambat norepinefrin dan reuptake serotonin. Penggunaan terapi electroconvulsive merupakan salah satu pilihan terapi yang aman dan efektif untuk depresi pada pasien PD. 7,9
Secara umum, penggunaan benzodiazepine kurang baik ditoleransi untuk terapi ansietas, agitasi, atau gangguan tidur yang berhubungan dengan depresi karena memberikan efek yang kurang baik pada fungsi kognitif. Penggunaan benzodiazepine hanya disarankan pada suatu keadaan akut agitasi yang berat membahayakan bagi pasien dan orang lain; pemberian antipsikotik tidak terlalu efektif walaupun quetiapine dapat memberi efek yang memuaskan. Pemberian haloperidol tidak direkomendasikan pada pasien PD karena dapat menginduksi parkinsonisme yang berat. Pemberian odansentron, merupakan inhibitor serotonin 5-HT3, secara intravena, intrmuskular atau secara oral dapat membantu keadaan emergensi. 5,6,9
            Pengobatan psikosis pada pasien dengan PD secara umum harus memperhatikan obat-obatan antiparkinson, menentukan masalah yang disertai dengan ansietas dan gangguan tidur, edukasi pasien dan caregiver, dan bila diperlukan pemberian obat antipsikosis.  Penggunaan agen atipikal (clozapin, olanzapin, quetiapine, dan risperidon) menunjukkan efektifitasnya pada dosis rendah untuk tatalaksana psikosis. Sayangnya kebanyakan pasien tidak mentoleransi efek konfusi/delirium, sedasi atau meningkatnya gejala Parkinson. Penggunaan agen kolinergik (donepezil) dapat menurunkan gejala psikosis pada PD, yang mengimplikasi mekanisme dopaminergik.7
            Penentuan dosis dan lamanya pengobatan dapat mempengaruhi respon terapi dan efek samping yang timbul. Biasanya pasien respon dengan dosis kecil clozapin 6,25 mg – 12,5 mg perhari malam hari, tetapi beberapa pasien membutuhkan dan standar toleransi atau dosis yang lebih tinggi. Clozapin merupakan standar emas agen antipsikotik yang digunakan pada pasien dengan PD. Obat lain yang merupakan pilihan utama yaitu quetiapin dengan dosis inisial 6,25 – 25 mg, malam hari. Dosis efektif pada pasien dengan PD yaitu 50-75 mg perhari, tapi pada beberapa pasien membutuhkan dosis hingga 400 mg perhari. 7

Kesimpulan
Manajemen pada pasien dengan PD tahap lanjut sangatlah menantang kita dalam penanganannya dilihat dari segi motorik, sering timbulnya gejala psikosis, yang disertai dengan berbagai komorbiditas neuropsikiatri lainnya. Penilaian dan penanganan pasien PD yang disertai gejala neuropsikiatri membutuhkan perhatian yang lebih besar bagi kita untuk lebih memperhatikan lagi berbagai faktor penyebab timbulnya gejala neuropsikiatri. Pengenalan secara dini dari gejala-gejala neuropsikiatri yang timbul hampir menyerupai gejala PD sangatlah penting dalam tatalaksana pasien lebih lanjut. 
  

DAFTAR PUSTAKA
1.        Zigmond MJ and Burke RE. Pathophysiology of Parkinson’s Disease. Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress. Ch 123 p 1781-1793
2.        Cheryl HW. Diagnosis and managements Parkinsons Disease 2nd ed. Professional Communications Inc. 1999
3.        Rowland LP. Merrit’s Neurology 11th edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.2005: 828-845
4.        Tan LCS, Venketasubraniam, Hong CY, et.al. Prevalence of Parkinsons Disease in Singapore.Neurology 2004; 62; 1999-2004
5.        Fahn S and Ford B. Medical Treatment of Parkinson’s Disease and its Complications in Neurological Therapeutics Principles and Practice vol 2 part 2. Martin Dunitz. United Kingdom. 2003. p 2447-2482
6.        Marsh Laura. Neuropsychiatric aspects of Parkinson’s Disease. Psychosomatics 41:1, January – February 2000.
7.        Ferreri F. Agbokou C. Gauthier S. Recognition and management of neuropsychiatric complications in Parkinson’s disease. CMAJ 2006; 175(12):545-52
8.        Hanagasi HA dan Emre M. Management of the Neuropsychiatric and Cognitive Symptoms in Parkinson’s Disease. Practical Neurology 2002;2;94-102
9.        Marsh Laura. Psychosis in Parkinson’s Disease. Primary Psychiatry 2005;12(7):56-62